Akhiran

59 10 30
                                    

.....

Siang ini, hati pelaksanaan pengadilan pembacaan putusan, untuk kasus yang menyangkut kematian seorang siswa SMA lima tahun silam.

Persidangan siang ini tak ada kendala sama sekali, semuanya berjalan teratur dan normal, tak ada keributan dari pihak yang bersangkutan maupun pihak yang tidak bersangkutan.

Hakim ketua tengah menjelaskan hak-hak para pihak putusan tersebut, selanjutnya Hakim ketua menawarkan kepada terdakwa (Jendral) menentukan sikapnya, apakah ia akan menyatakan menerima dan mengajukan grasi, menyatakan naik banding atau menyatakan pikir-pikir.

Jendral diberikan waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan penasehat hukumnya. Setelah Jendral menyatakan sikap menerima atas surat putusan Hakim tersebut.

Setelahnya, Hakim meminta Jendral untuk menanda tangani berita cara pernyataan menerimaputusan yang telah disiapkan panitra pengganti.

Tak ada hal-hal lagi yang ingin disampaikan dalam sidang siang ini, Hakim ketua kembali membuka suara.

"... Sidang dinyatakan di tutup." Ucap Hakim ketua sembari mengetuk palu sebanyak tiga kali ketukan, yang menandakan sidang siang ini telah berakhir.

Panitra pengganti mengumumkan bahwa majelis hakim akan meninggalkan ruangan.

"Hakim akan meninggalkan ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri." Ucap panitra pengganti.

Sontak seluruh hadirin diruangan sidang berdiri mengikuti arahan panitra pengganti. Hakim mulai meninggalkan ruangan melalui pintu khusus.

Putusan menyatakan terdakwa (Jendral) tetap ditahan, Jendral keluar lebih dulu dengan dikawal oleh petugas berwajib.

Para pengunjung sidang, penuntut umum, penasehat hukum dan terdakwa berangsur-angsur meninggalkan ruang sidang.

Setelah melihat putusan Hakim, juga setelah ia keluar dari ruang sidang yang mencekam siang ini, Jizan kembali menangis setelah beberapa hari lalu menyaksikan reka ulang kejadian pembunuhan adiknya.

"Akhirnya, adek gue.." Lirihnya sembari menangis.

Hanan yang melihat betapa rapuhnya seorang Jizan yang biasanya terlihat acuh itu, membuat hatinya tak tega, ia merasa sangat berdosa pada dirinya karena mementingkan ego nya lima tahun lalu.

Segeralah raga yang bergetar hebat itu ia tenggelamkan dalam dekapannya, berusaha menenangkan jiwa rapuh seorang Jizan Haq Athallah.

"Iya, gue tau. Lo harus udah bisa ikhlas sekarang, Zan." Ucapnya sembari menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu.

"Maafin gue, seharusnya gue bantu adek lo untuk terakhir kali waktu itu." Bisiknya penuh rasa bersalah.

Entah Jizan mendengarkannya atau tidak, Hanan tak peduli, ia tak meminta jawaban dari Jizan, ia cukup dikatakan manusia paling egois dalam hidupnya.

"Lo boleh nangis, Zan. Gue tau lo kuat." Ucap Hanan sembari menepuk bahu Jizan, berusaha menenangkan. Hanan memberikan beberapa lembar tisu yang sengaja ia bawa kepada Jizan.

Tisu itu segera Jizan terima, dan menghapus air mata yang membanjiri matanya. Ia mengambil napasnya berat, lalu mengeluarkannya lagi.

Ia memandang langit-langit ruangan, antara bahagia juga rindu, entah mana yang mendominasinya saat ini.

Andaikan ia bisa mengatakannya secara langsung, bahwa ia berhasil sampai dititik dimana ia puas akan pencapaiannya membawa keadilan untuk sang adik. Ia ingin sekali merangkul raga sang adik yang telah dikebumikan lima tahun lalu itu.

"Had, lo tenang disana, ya.. gue mau lo bahagia." Ucapnya sembari merasa beban-benan dipikirannya hilang seiring air mata itu mengalir membasahi wajahnya yang rupawan.

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang