◍12 Khilafnya seorang Raden

27 16 18
                                    

.....

Setelah pertemuan mereka dirumah Jendral, Asa maupun Hanan tak saling bicara, padahal biasanya Hanan tak akan membiarkan suasana hening menghampirinya. Asa segera masuk kedalam rumahnya tanpa mengucapkan apapun setelah Hanan mengantarnya pulang, Hanan juga tak bisa mengatakan apapun.

"Sa, jangan marah.. gue belum bisa kasih tau lo, tapi nanti juga lo bakal tau sendiri."

Asa memang mendengar sahabatnya itu bicara, namun ia tak menggubrisnya dan segera menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Hanan tahu, seharusnya ia tak menyembunyikan barang itu, tapi ia sendiri tak ingin bila barang itu jatuh ketangan yang salah.

"Mending pulang, mungkin main sama hantu lebih seru dari pada sendirian begini." Gumam Hanan pada dirinya sendiri.

Dari kejauhan Raden melihat Hanan yang baru saja pergi dari rumah Asa. Ia bukan tipe orang yang suka menguping, hanya saja ia terkejut karena baru pertama kali ia melihat Asa bersama lelaki, biasanya Asa pulang sendirian.

Raden POV.

"Tumben banget, apa pacarnya ya? Tauk ah, mending juga cepet-cepet ke Masjid."

"Eh, hari ini apa aku aja ya yang adzan? Sekali-kali gak papa, kan? Kasihan Mas Mahen, masa tiap hari dia terus yang adzan."

Awalnya aku hanya sekedar ingin lewat sekalian mampir kerumah Mas Mahen dan berangkat sholat bersama, tapi kakiku tiba-tiba saja berhenti karena melihat Asa bersama seseorang yang tak aku kenal.

Aku membawa kolak pisang buatan Mama, kata beliau kolak ini untuk keluarga Mas Mahen. Kalau tak salah, Aya suka kolak pisang, kan? Jadi tak sabar melihat reaksi Aya saat memakan kolak ini.

Plak!

"Astaghfirullah.. Raden, lo kenapa sih!?"

Aku memukul diriku sendiri, sebenarnya apa yang baru saja aku pikirkan? Aku harus fokus, aku tak boleh terlena dengan dunia, lagi pula aku dekat dengan Aya bukan karena tidak ada alasan, justru aku memiliki alasan yang kuat.

Aya harus sembuh agar ia bisa bersaksi.

Aku sudah sampai didepan rumah Aya, mataku melirik kearah Mas Mahen yang tengah membenarkan sarung diteras rumah.

"Assalamu'alaikum, Mas! Yuk berangkat." Ajakku semangat.

"Wa'alaikumussalam, ayok aja. Kamu bawa apaan, Den?" Tanya Mas Mahen padaku.

"Astaghfirullah.. Maaf Mas, gue lupa. Ini ada kolak pisang dari Mama." Ucapku seraya memberikan wadah berisikan kolak titipan Mama.

"Maasyaallah.. Jazakumullah khair, ya. Sehabis sholat kamu makan malem disini aja, Ibu sama Aya lagi masak besar hari ini, kebetulan tadi siang Pak Gun kirimin ikan hasil mancing di empang."

Pak Gun, itu kepala desa yang sangat merakyat, kalau kata omongan tetangga, pak Gun sayang sama Aya dan Mas Mahen, karena sudah dianggap seperti anak sendiri.

"Aya masak ikan?" Aneh biasanya Aya tak suka dengan hewan hewan amis seperti itu.

"Kalau ikan, Ibu yang masak. Aya masak sayur dan tempe sambal, pasti kamu suka, karena tempe Aya pernah menjadi tempe favorit seseorang."

"Siapa? Siapa yang suka sama Aya?"

"Hah? Kamu bilang apa Den?"

"Ah, enggak.. maksud gue siapa yang suka tempenya Aya?"

Hampir saja, sebenarnya apa yang salah dalam diriku, ya? Kenapa hari ini seperti ada yang rusak? Apa diriku harus di perbaiki lagi? Yaa Allah, maafkan hambamu yang sering khilaf ini.

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang