◍15 Tak seburuk yang ia kira

21 14 9
                                    

.....

Pertemuannya dengan Hanan membuat Naja tidak merasakan kesepian, mereka berdua memang sama-sama sibuk dengan aktifitas masing-masing, jadi sangat wajar bila Naja jarang bertemu dengan Hanan, mereka hanya saling mengirim pesan melelui media sosial.

"Kak, ayo kita main ke cafe yang Naja ceritain waktu itu, Kakak suka lagu itu kan? Ayo cepet sadar, rumah Naja jadi sepi, kalau Naja pulang malem, trio L siapa yang ngurus? Mereka juga pasti kangen sama Kakak."

Trio L, tentunya itu anak kucing peliharaan Naja, namanya, Luna, Lucy, dan Luke.

"Naja gak bisa percaya sama orang lain semudah Naja percaya sama Kakak. Bahkan, kalau Kakak tau, Naja gak bisa percaya sama Tuhan, karena Tuhan selalu menghalangi Naja untuk bahagia."

Naja terdiam sejenak, ia menghembuskan napas lelahnya.

"Kakak sendiri juga pernah bilang, kalau bahagia itu penting. Kalau begitu, seharusnya Tuhan mengerti dan memfasilitasi manusia untuk bahagia, mungkin, Tuhan memang memberikan bahagia, hanya saja untuk orang-orang tertentu, contohnya Kakak. Tuhan gak menyukaiku, karena itu, Tuhan gak pernah menginginkan aku bahagia."

Jujur saja, Naja membenci Tuhannya. Menurutnya Tuhan itu tidak adil padanya, disaat manusia lain mendapatkaan rasa bahagia, lalu mengapa dirinya tak bisa mendapatkannya? Terkadang ia sudah bisa mengukur cara untuk mendapatkan bahagianya, bahkan seolah kebahagiaan itu hampir ia genggam, tapi lagi-lagi, Tuhan seolah merebutnya dan tak ingin ia merasakan rasa bahagia.

Bukankah bahagia itu penting? Lalu mengapa Tuhan selalu ingin merebut bahagia dari hidup Naja, siapa yang salah, Tuhan ataukah Naja, manusia yang tak mengerti, bagaimana Tuhan membawakannya bahagia dengan jalur takdir yang bahkan tak Naja ketahui?







































































































Setelah kejadian itu, sudah genap dua bulan Naja menunggu, bagaimana Tuhan juga seolah mempermainkan perasaan dan hidupnya. Ia layanya boneka, yang bisa digerakkan sesuka hati oleh Tuhan. Begitulah yang Naja pikirkan kepada sang pencipta.

Saat ini ia baru saja memasuki rumah sakit tempat Mahendra dirawat, ia harus menaiki tiga lantai lagi dari tempatnya berpijak saat ini. Masih dengan harapan yang sama, harapan bahwa setiap kali ia datang untuk menemui Mahendra, akan ada sedikit keajaiban yang menghampirinya.

Ia sudah sampai dilantai tempat ruangan Mahendra berada, ia segera bergegas untuk menghampiri sang Kakak, saat mengambil tikungan disebuah lorong rumah sakit, ia justru melihat pemandangan yang tak mengenakkan, justru berbanding terbalik dengan apa yang ia harapkan.

Matanya menangkap para perawat juga dokter-dokter sedang tergesa-gesa berlari membawa tempat tidur jenazah dari arah yang sama, dimana lorong yang ia tuju terdapat barisan kamar pasien, salah satunya kamar Mahendra.

Naja berlari berlawanan arah dengan para petugas medis, sekilas matanya melirik jenazah yang tertutupi oleh kain, begitu takutnya ia kalau hal yang buruk benar-benar terjadi pada Kakaknya.

Jantungnya berdegup kencang, padahal belum tentu hal buruk terjadi pada kehidupannya. Ketika langkahnya berhenti didepan pintu tempat Mahendra dirawat, timbul rasa benci yang begitu besar, Naja benar-benar membenci Tuhannya.

Tuhan seolah mempermainkan dirinya, saat kebahagiaan sudah ada didepan matanya, seolah ada sambaran petir yang menyambarnya, secepat kedipan mata, Tuhan merebut bahagianya.

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang