.....
"Apa yang kamu pegang Naja?"
Aku meletakkan kembali surat itu pada tempat sebelumnya, sembari tersenyum canggung menatap Kakak. Aku benar-benar takut kalau aku melewati batas privasi Kakak, karena telah membaca surat pribadinya.
"Oh, surat itu. Kamu baca? Niatnya surat itu mau saya kirim, cuman sepertinya sudah ada yang membacanya, haha. Menurutmu bagaimana? Apa suratnya terlalu terlihat menyedihkan? Saya gak akan marah, karena kamu yang nantinya akan terus bersama adik saya. Lagi pula, yang terpenting bukan surat itu."
Bukankah surat itu lebih penting, apalagi untuk orang seperti Kakak yang sedang merantau jauh dari rumah dan keluarga. Kalau aku sih, walaupun pergi dari rumah aku tak masalah, karena aku tak suka dengan permintaan Mama.
"Hah? Kakak beneran gak marah? Bukannya itu surat penting, itu kan, untuk keluarga Kakak.. Apa benar gak masalah kalau aku membacanya, apalagi tanpa izin dari Kakak."
Aku tau pasti sebenarnya Kak Mahen sangat marah padaku, hanya saja, mungkin Kakak ingin menjaga perasaanku, agar tak takut padanya. Seharusnya aku yang minta maaf lebih dulu, bukan Kakak yang memaafkanku.
"Sudahlah, yang terpenting bukan surat itu, tapi memberi kabar lewat Allah. Kalau manusia saja diberi kabar, lalu bagaimana dengan pencipta? Naja, banyak hal yang mungkin perlu kamu keluhkan, tapi bukan pada manusia, karena sewaktu-waktu mungkin mereka akan berpaling darimu."
"Saya yakin kamu anak hebat, saya mungkin tak mengenalmu sejauh orang lain mengenalmu, pasti banyak hal sulit yang telah kamu lalui sendirian, dan mungkin sebenarnya banyak hal yang ingin kamu keluhkan pada tuhan, maka keluhkan saja, karena hatimu pasti perlu sandaran."
Entah karena apa, tapi ini sangat tiba-tiba. Kenapa Kak Mahen negatakan hal itu padaku?
Setelah hari itu banyak hal yang aku lewati bersama Kak Mahen, aku mengenalnya dengan baik, dia adalah orang tersabar yang pernah aku temui juga orang yang peduli dengan hal-hal kecil, contohnya perasaan orang lain atau kenyamanan dalam berkomunikasi.
Flash back end.
"Kakakmu itu orang terhebat yang pernah saya temui, dan kamu adalah orang beruntung yang pernah memilikinya. Saya yakin, mungkin banyak rasa kecewa yang kamu simpan karena Kakakmu pergi tanpa kabar."
"Tapi yang saya tau sejauh ini, dia adalah orang yang paling menyayangimu. Saya bicara bukan tanpa sebab, saya melihat dengan jelas bagaimana Kakakmu memohon pada saya hari itu, atau saat dia sakit, hal pertama yang ia tanyakan pada saya adalah apakah saya masih mau membantunya untuk menyembuhkanmu?"
"Jadi Aya, jangan sia-siakan orang seperti Kakakmu, kamu berharga untuknya, dan kamu membutuhkannya."
Aku melihat matanya yang berkaca-kaca, apakah ia sedih karena ucapanku atau aku yang salah bicara. Seharusnya ku menjaga agar sisi emosionalnya terjaga, aku malah membuatnya berantakan. Aku pikir dengan bercerita seperti ini akan membuatnya mengerti, bahwa orang yang ia benci sejak tiga tahun lalu, bukanlah orang yang ia bayangkan.
"Apa saya mengatakan sesuatu yang salah? Apa ada sesuatu yang membuatmu terluka? Tolong beri tau saya, karena mulai sekarang saya akan menjadi dokter kamu."
Tanganku bergerak untuk mengelus bahunya yang terlihat bergetar, tapi seketika ia menghundar dengan cepat dan berdiri menatapku dengan mata yang mulai mengeluarkan air mata.
"Mas ngelakuin itu semua buat aku?"
"Iya Aya." Langkahku bergerak menuju dirinya yang masih berdiri tanpa bergerak sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanficTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...