.....
Setelah pembicaraannya bersama Hanan beberapa hari yang lalu, Mahendra kembali kerumah dengan keadaan yang terlihat tidak baik-baik saja. Ia jadi lebih sering diam, sering menyendiri dan menangis sendirian didalam kamar, tapi ia juga selalu sempatkan menghubungi Naja untuk melihat perkembangan Aya.
"Mas, Ibu tau Mas anak yang hebat, begitu juga dengan Aya. Ibu yakin, Aya pasti sembuh, percayakan semua sama Allah."
"Insyaallah, Mahen sudah bisa menerima semuanya dan pasti Mahen, Aya, dan Ibu pasti bisa bersabar dengan keadaan ini, Mahen takut kalau penyakit itu semakin parah, Mahen takut kehilangan Aya, Bu."
Mahendra menangis sembari menutupi wajahnya yang kacau dengan kedua telapak tangan, Ibunya tahu, anak tertuanya sangat menyayangi keluarganya dan Mahendra selalu bertindak sendirian, tanpa memperdulikan dirinya sendiri.
"Tiga tahun lalu Aba yang pergi, itu aja udah berat buat Mahen, tapi ternyata Aya lebih ngerasa berat, Aya hampir kehilangan sisi kemanusiaannya waktu itu, dan selama itu Mahen pergi merantau, dan gak ada disamping Aya."
"Ditambah, sesudah Aba meninggal, Sahabat Aya juga ikut dipanggil sama Allah, Mahen pikir, Aya bisa ikhlas. Ternyata Mahen yang menyepelekan perasaan Aya, Mahen gak pernah tau, kalau Aya ngerasa kesulitan buat mengikhlaskan."
Sentuhan lembut mengenai punggung Mahendra yang terlihat bergetar, Ibu mengelusnya penuh kasih sayang, pikirannya terkadang berputak kembali saat anak-anaknya masih kecil, mengingat sudah berapa banyak waktu yang sudah terlewati dengan indah.
"Mas ingat dulu Aya pernah jatuh dari sepeda dan kakinya tergores? Ibu inget banget, waktu itu Mas nenangin Aya sembari bilang kalo semuanya baik-baik aja, padahal Aya gak sampai nangis kenceng, tapi malah kamu yang nangis."
"Ibu tau, hati Mas lembut, mudah tersentuh, apalagi kalau berkaitan sama Aya, Mas itu orang yang selalu ada dibaris terdepan buat Aya. Sekarang, Mas cuman perlu ucapin lagi mantra yang selalu Mas ucapin setiap Aya sedih."
Mahendra menghapus sedikit air mata yang terjatuh mengenai pipinya, ia percaya Allah pasti akan membantunya, dan alasan mengapa Allah memberikan cobaan ini karena Allah yakin ia pasti bisa melaluinya.
"Semuanya baik-baik aja."
"Assalamu'alaikum, Mas, Ibu! Coba liat siapa yang Aya bawa pulang ke rumah!"
"Wa'alaikumussalam.. Siap-"
Begitu terkejutnya penghuni rumah itu ketika mendapati Aya pulang bersama sosok yang sudah tak ada di dunia. Apalagi Mahendra yang menjawab salam Aya terlebih dahulu.
Mahendra bahkan menarik Aya dan menyembunyikannya dibelakang tubuhnya, Mahendra menatap tajam kearah lelaki berjaket hitam itu tajam, matanya seolah mengisyaratkan banyak bertanyaan.
"Tenang kak, dia bukan hantu, dia Jih-"
"Aya, Mas minta maaf, Mas tau Mas yang salah karena gak memberitahumu dari awal."
Mahendra memotong ucapan adiknya, ia membalikkan badannya menghadap sang Adik dan memegang pergelangan tangan adiknya kuat, wajahnya terlihat sedih, ia takut adiknya menolak kembali kenyataan, ia juga takut kalau penyakit adiknya semakin parah.
"Aya, duniamu itu sudah gak ada, Jihad sudah gak ada bersamamu sejak tiga tahun lalu."
Aya tersenyum getir, matanya sesekali menatap Jihad yang berdiri jauh darinya, ia masih tak percaya dengan ucapan sang Kakak, karena ia bahkan membawa Jihad kerumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanficTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...