…..
"Jadi, barang apa yang disembunyiin Hanan dari gue?"
Padahal Asa baru saja datang, tapi ia justru memulai pembicaraan dengan topik yang berat. Sebenarnya, Asa tak suka berlama-lama dirumah Jendral, setiap kali ia datang ketempat ini, Asa selalu merasa tak nyaman.
"Gue juga gak tau, tapi kita bisa kerja sama buat dapetin barang itu." Jawab Jendral santai. Ia bersikap seolah Asa tak pernah menuduhnya dengan tuduhan yang sangat besar, bahkan Asa lah yang membuatnya juga harus berurusan dengan petugas kepolisian.
"Gue belum percaya sama lo, apa lo punya sesuatu yang bisa yakinin gue buat percaya sama lo?"
Asa menaikkan dagunya, ia harus terlihat tegas dimata Jendral, ia tak mau dianggap wanita lemah yang bisa kapan saja dipermainkan oleh kata-kata ataupun sikap-sikap yang menipu mata.
"Inget ya, lo gak bisa ngelakuin hal yang macem-macem dideket gue. Karena gue kesini gak sendirian, gue selalu sedia payung sebelum hujan, didepan rumah lo, udah ada sepuluh body guard yang keluarga gue punya buat jagain gue selama gue berurusan sama lo. Jadi tolong jaga sikap, selama lo bareng gue."
Asa tersenyum manis layaknya seorang putri dari kalangan bangsawan, ia mengambil teh yang disediakan Jendral, dan meminumnya dengan anggun. Semua sikap yang ia tunjukkan adalah salah satu pelajaran dasar dalam keluarga Asa.
"Oke, santai aja, gue gak bakal ngapa-ngapain kok, gue cuman mau ngobrol sama lo, Asa Naurytha, atau bisa juga, Nakamoto Asa?" Jendral juga memberikan senyumannya, tapi yang terpikirkan oleh Asa adalah, mengapa senyuman itu seolah memiliki arti lain, arti yang tak dapat Asa mengerti.
"Dari mana lo tau nama keluarga gue?" Jujur saja, Asa sangat terkejut, bagaimana bisa Jendral mengetahui Nama aslinya? Sedangkan ia tak pernah memberi tahu kepada siapapun tentang marga dari jalur Ibunya yang merupakan pengusaha sukses berdarah Jepang.
"Dunia bisnis itu luas, Asa. Perusahaan keluarga gue dan perusahaan keluarga lo tentunya juga pernah saling ketemuan, di acara-acara besar para pengusaha. Jadi harusnya lo gak perlu kaget lagi soal ini."
"Kalau soal hal yang bisa meyakinkan lo sama gue, tentu ada, gue ada pemikiran begini.. Kenapa sidik jari pelaku gak diketahui selama penyelidikan kasus pembunuhan Jihad? Mungkin jawaban terdekat adalah, pelakunya pakai sapu tangan, terus, karena didekat korban ada bekas bungkus narkoba, kemungkinan pembunuhnya juga pengguna narkoba."
"Terus?" Asa masih mendengarkan omongan Jendral dan terus fokus menatap Jendral tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.
"Lima tahun lalu, gue liat Hanan sama orang yang gue gak tau dia siapa, karena kondisi malem banget waktu itu, jadi gue gak bisa liat dengan jelas dia lagi sama siapa disana, tapi gue bisa pastiin kalau itu Hanan."
"Karena gue ngerasa ada yang aneh, akhirnya gue milih buat ngambil foto dari jauh, untungnya lensa kamera gue bagus, alhasil gue bisa zoom dari jarak yang lumayan jauh itu. Gue liat, dia ngasih bungkusan bening yang isinya kayak tepung warna putih, awalnya gue gak mau su'udzon sama Hanan, tapi sikap dia memang mencurigakan."
"Dan tiga hari setelah itu, berita tentang kasus Jihad masuk TV, gue lagi ada diluar pulau. Karena gue ada acara keluarga. Bahkan lo harusnya udah denger ini kan dari pihak kepolisian yang ngurusin gue?"
"Ohh, itu alasan lo ilang gak ada kabar.." Asa mengangguk dan kembali bersuara, setelah sekian lama ia diem tanpa mengatakan apapun, karena ia fokus mendengarkan Jendral bercerita.
"Iya, sekarang lo bisa kan, percaya sama gue? Lo bebas mau pake cara apa buat ambil barang itu dari Hanan, gue dukung semuanya."
"Kalau gitu, gue mau lo janji dulu sama gue, kalau lo gak akan berkhianat. Gimana?"
![](https://img.wattpad.com/cover/347187246-288-k910832.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanficTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...