◍16 Kamu bukan Dia

25 15 26
                                    

.....

Raden dan juga Hanan baru saja pulang setelah acara makan malam dirumah Mahendra, ternyata mereka memiliki arah yang sama saat ingin kembali kerumah masing-masing. Ditengah perjalanan mereka mengobrol ringan.

"Lo Raden, kan? Cengeng banget lu, denger cerita gitu doang aja nangis! HAHAHAH." Hanan memukul keras bahu Raden beberapa kali saat dirinya tertawa. Yang menjadi korban justru menatap sinis dan menyingkirkan tangan Hanan paksa.

"Lo juga nangis! Nangisnya gak elit lagi, kayak bocah yang ditinggal emaknya aja! Iwh.." Raden mengambil langkah lebar, ia berjalan lebih cepat dari Hanan, rasanya ia tak sudi bila searah dengan manusia satu ini.

"Lo mau kemana!?" Tanya Hanan sembari mengimbangi langkah Raden.

"Pulang lah, yakali gue mau bareng terus sama lo!"

"BTW, lo siapanya Aya?"

Hanan bertanya bukan tanpa alasan, ia sangat tak suka bila ada orang lain yang menghalanginya dari Aya, untuk kedua kalinya.

Untungnya, penghalang pertamanya sudah lebih dulu tersingkirkan, ia akui, penghalang pertamanya adalah penghalang yang sangat sulit untuk disingkirkan, karena posisinya sudah seperti segalanya bagi Aya.

"Bukan siapa-siapa, gue pendatang aja di sini. Ya, walaupun semasa gue kecil gue juga pernah tinggal disini. Lo sendiri siapanya Aya?"

Kedua pemuda itu terus saja berbincang, mungkin bila orang-orang melihat mereka, itu akan terlihat seperti perbincangan normal pada umumnya. Tapi siapa yang tahu? Bahwa sebenarnya mereka berbicara seolah sedang merebutkan sebuah tahta. Tanpa disadari, Hanan sudah sampai didepan gang perumahan warga tempat rumahnya berada.

"Gue? Seharusnya lo tau siapa gue, intinya, lo gak perlu deket-deket Aya, karena yang boleh memiliki dia cuman gue." Hanan tersenyum bangga pada dirinya sendiri, langkahnya terhenti didepan gang perumahannya.

"Kenapa harus lo? Emangnya, Aya mau sama lo?"

Jujur saja, pertanyaan yang dilontarkan Raden saat ini membuat Hanan kesal, sangking kesalnya ia sampai menggeretakkan giginya. Tentu saja Raden menyadarinya, Raden juga sempat tersenyum, namun Hanan tak menyadari hal itu.

"Lo jangan macem-macem anj*ng!" Hanan mencengkram kuat kerah baju milik Raden, ia sedikit mendekatkan wajahnya pada telinga Raden. "Kalau lo gak mau bernasib sama kayak Jihad, lebih baik, lo jauhin Aya."

Setelah membisikkan kalimat itu, Hanan pergi meninggalkan Raden yang sama sekali tidak merasa takut sedikitpun. Saat Hanan benar-benar menghilang dari hadapannya, Raden justru tertawa.

"Haduh.. Dasar manusia, lo ternyata lengah ya. Makasih juga, berkat lo, gue jadi bisa dapet informasi tambahan tentang Jihad."












































































































"Yah, segitu aja info yang bisa gue dapetin hari ini. Seenggaknya kita udah bisa nentuin siapa yang harus dicurigai." Raden mengambil segelas teh hangat yang ada didepannya, saat ini ia sedang berbicara dengan sahabatnya.

Mereka seolah sedang membicarakan hal penting, raut wajah yang serius juga atmosfer ruangan yang terasa lebih tegang dari biasanya, menambah kesan mendalam diantara keduanya.

"Pertama, tentunya Jendral, walaupun status dia terakhir kali adalah 'sahabat adek lo', kalaupun dia udah lolos dari introgasi pihak kepolisian, dan terbukti gak bersalah, gue dan lo sendiri pasti masih mencurigai Jendral, secara kesaksiannya yang terasa ganjal dan Jendral juga pernah menghilang seminggu sebelum kejadian."

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang