◍7 Dia duniaku

26 16 6
                                    

.....

Flash back end.

"Yah gitu deh Kak, walaupun kadang kelakuan Jie itu gak normal, dia itu tetap number one." Ucapku bangga setelah mengakhiri cerita, sebenarnya aku baru saja teringat satu cerita lagi.

"Yakin? Bukannya saya ya? Jihad kan tak bisa membuatmu sembuh, lho. Kalau saya tentu saja bisa, lagipula, bukankah Jihad adalah salah satu penyebab kamu terluka?"

Ucapan Kak Naja membuatku terdiam untuk beberapa waktu, apa maksudnya 'Jihad penyebab aku terluka?'. Menurutku justru, ia adalah pengobat alami, ia tak pernah melukaiku, ia justru mengobatiku. Kalaupun nantinya aku terluka, itu semua bukan salahnya, tapi salahku yang terlalu berharap besar.

Aku mengambil biskuit di depanku dan memakannya. "Kak Naja nomong apa sih? Jie itu walaupun nakal, dia itu jauh lebih romantis dari pada Kakak. Nih ya, dulu dia pernah bilang sesuatu ke aku."

"Dulu dia pernah bilang, kalau suatu hari nanti dia bakalam ngelukis bunga untuk orang yang paling dia sayang. Dia juga bilang, kalau suatu hari nanti ia akan membuat seseorang terkejut akan hasil lukisannya."

"Dan bodohnya aku, aku malah berharap akulah yang bakal nerima lukisan bunga itu, sampai sekarang aku gak pernah berani buat bertanya, apak lukisan itu udah dia kasih ke orang yang dia maksud atau enggak, karena aku takut kalau orang yang dia maksud bukan aku."

Setelah aku selesai bercerita, Kak Naja tak mengambil suara atau mengambil alih pembicaraan, alhasil kami berdua terdiam cukup lama, dan yang terdengar hanya suara kunyahan biskuit dari mulut kami.

Aku juga masih bertanya-tanya mengapa semua orang melarangku untuk bermain dan bertemu sahabatku ditaman itu, memangnya ada apa disana? Apakah ada hantu yang menunggu dibawah pohon kesayanganku itu? Atau semua orang justru tak suka aku bahagia?

Atau soal luka pada tangan Jihad hari itu, lukanya memang tak besar, namun itu terlihat sangat dalam, kalaupun ia terluka satu hari yang lalu, setidaknya luka itu tertutup perban, tapi yang kulihat justru luka itu terlihat sudah sangat lama.

"Aya, kalau berbicara soal taman itu, apakah kamu tak merasakan apapun saat berada disana?" Tanya Kak Naja membuka kembali pembicaraan.

"Sebenarnya ada rasa sesak yang kadang ganggu banget buat bernapas, tapi itu semua ilang pas aku ketemu Jihad, kok. Bukannya gak masalah? Aku udah sering gerasain sesak sejak tahun-tahun terakhir."

Aku menjawab dengan jujur, aku memang merasa sesak, terkadang saat melihat Jihad sekalipun.

"Oh, begitu ya? Apa kamu merasa tidak ada yang berubah dengan duniamu? Seberapa indahnya duniamu Aya? Apa kamu bisa memperlihatkan duniamu pada saya?"

Kak Naja terlihat penasaran, kalau dipikir-pikir duniaku itu berkaitan dengan seni, entah itu menulis, membaca atau mengagumi ciptaan-Nya. Kalau manusia saja bisa menjadi rumah, lalu kenapa tidak dengan Jihad yang menjadi duniaku?

"Duniaku masih ada, dan duniaku indah. Allah sengaja memberi jarak, agar aku tak terlalu tenggelam, tapi sepertinya aku sudah melewati batas yang telah diciptakan, aku terlalu menyayangi duniaku melebihi apapun, tentunya terkecuali Allah."

"Duniaku itu, Jihad. Allah seolah menciptakannya sempurna untukku, aku tau, dia hanyalah seorang manusia yang tak luput dari kesalahan, dia berhak untuk menangis, marah bahkan untuk bahagia, ia hidup tanpa seorang Ibu disampingnya. Tapi ia tetap indah layaknya kupu-kupu."

"Dunianya bukan aku, tapi imajinasi yang ia ciptakan terkadang membuatku terhanyut kedalam dunianya. Dunianya lebih berwarna dari duniaku, aku pernah bertanya padanya, apakah dunianya berwarna atau tidak. Karena menurutku, dunia ini tidak memiliki warna, aku hanya bisa menemukan warna disetiap buku dan tulisan, karena itulah aku suka menulis dan membaca. Entahlah, seolah aku berada di dunia lain, dunia dimana penuh warna dan rasa, yang membuatku tak ingin keluar dari dunia itu"

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang