.....
Seorang pemuda tengah tertidur dengan posisi duduk disebuah ruang tunggu, dengan mata sembab yang menghiasi wajah rupawannya.
"Kepada wali pasien?"
Kesadarannya seketika kembali, ia segera bangkit dari duduknya dan tersenyum pada perawat yang baru saja keluar dari ruangan tempat Mahendra ditangani setelah kejadian yang menimpanya dua jam lalu.
"Saya, saudaranya."
"Baik, silahkan ikuti saya."
Naja mengikuti arahan perawat dan memasuki ruangan dokter yang sebelumnya sudah menangani Kakaknya, kini ia duduk sebagai wali pasien, bukan lagi sebagai dokter. Sekarang ia mengerti bagaimana rasanya menggantungkan diri pada seseorang, perasaan ragu, dan ketidak pastian menghantui dirinya sejak lama.
"Saya sudah melihat perkembangan pasien setelah melakukan operasi sebelumnya, saya masih belum bisa memastikan apakah pasien akan cepat sadar atau tidak. Kalau saya melihat dari luka yang nampak ditubuh korban, tidak ada luka yang berarti, namun.."
Wajah dokter itu terlihat ragu untuk mengatakan kata yang selanjutnya, dan Naja tetap fokus menatap dokter itu, ia tak ingin hal-hal buruk terjadi pada Kakaknya.
"Kenapa?" Tanya Naja penasaran sekaligus khawatir.
"Dilihat dari hasil CT-scan pasien mengalami gegar otak ringan, dimana otak mengalami cedera. Gejalanya mirip dengan gegar otak ringan pada umumnya, tapi sering kali disertai dengan hilangnya kesadaran sesaat pada pasien, kami juga sudah memindahkan pasien diruang inap."
"Kami juga menghubungi para dokter di bidang bedah saraf, untuk penanganan lebih lanjut. Anda tidak perlu khawatir, kami akan bekerja semaksimal mungkin untuk pasien kami."
Setelah mendengarkan penjelasan dokter yang telah menangani Mahendra, Naja mengambil napas berat, ia kembali menatap dokter itu dan berbicara.
"Saya mengerti. Sebagai dokter, sekarang saya paham mengapa para wali pasien begitu bergantung kepada dokter. Saya berharap kalian bisa menangani dengan baik, tolong kabari saya bila ada perkembangan."
Dokter itu mengangguk, ia bangkit dari duduknya disusul dengan Naja yang juga ikut berdiri.
"Sekarang pasien sudah boleh untuk dijenguk, dan anda bisa menunggu kesadaran dari saudara anda, tapi pastikan tidak mengganggu waktu istirahatnya."
Naja menangguk lalu pergi meninggalkan ruangan itu dan masuk kedalam ruangan tempat Mahendra dirawat.
Setelah menutup pintu, Naja menatap Mahendra dengan tatapan sendu, pikirannya terus berputar mengingat apa yang baru saja dokter itu katakan. Ia berharap, Mahendra akan cepat sadar.
Ia mengambil langkah lesu dan terduduk disisi samping ranjang, tempat Mahendra tertidur. Tangannya bergerak mengelus lembut jari-jemari Kakaknya, Mahendra.
"Kak, ayo sadar.. Aku tak bisa melakukan apapun untuk adikmu bila dirimu tak ada disampingku."
Naja mulai menangis sesenggukan sembari menunduk dan menaruh telapak tangan Kakaknya diatas kepalanya, seolah Mahendra tengah mengelus puncuk kepalanya.
Saat ini ia benar-benar takut, takut akan kehilangan seseorang yang sangat berarti untuknya. Setelah sekian lama, hal yang paling ia inginkan di dunia ini datang padanya, Tuhan datangkan sosok Kakak yang ia dambakan sejak lama. Namun mengapa kini Tuhan seolah ingin merebutnya kembali.
"Naja takut, tolong cepat kembali.." Lirihnya lemah.
Gegar otak tak bisa dianggap sepele, ia sangat tahu konsekuensi yang akan terjadi bila keadaan Mahendra semakin memburuk nantinya. Mungkin bisa saja Mahendra kehilangan seluruh ingatannya, atau bahkan lebih buruk dari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
Hayran KurguTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...