.....
"Woy! Lo ga pura-pura tuli kan? Serahin diri lo kalau lo mau sahabat lo hidup!" Jendral semakin mempererat kekangannya pada leher Asa, membuat Asa kesulitan bernapas.
Aya tersentak dari lamunannya, setelah membaca surat dari Jihad. Ia menatap Jendral sendu dan tersenyum getir. Mengapa dunia mempertemukan dirinya dengan manusia-manusia seperti ini? Aya berjalan perlahan tanpa ragu mendekati Jendral.
"Apa kamu gak menyesal?" Tanyanya lirih.
"Berisik! Gue gak perlu mikirin itu semua, seharusnya dunia nyesel karena membentuk gue jadi manusia jahat kayak gini! Mereka yang salah, kenapa harus gue? Kenapa harus gue yang jadi korbannya!? Gue gak salah apapun!" Jendral menatapa Aya nyalang.
"Gue bisa bahagia..," Gumam Jendral kesetanan. "Gue bisa bahagia kalau lo mati! Gue mau lo mati! Enyah lo dari hidup gue!" Jendral memukul asal kearah Aya, namun siapa sangka? Bukan Aya yang terkena pukulan dari kayu tajam itu, melainkan Jizan.
"Stop lukai orang lain."
Hanya kata itu yang membuat Jendral membeku, begitu terkejutnya ia ketika melihat siapa yang berdiri dihadapannya.
"L-lo..?" Jendral menatap Jizan dengan mata yang bergetar, dan hati yang tak karuan, bagai mana bisa, manusia yang ia bunuh lima tahun lalu, kini berdiri dihadapannya dengan tubuh yang sehat?
Berbeda dengan Jendral yang begitu terkejut dengan kemunculan Jizan, Asa justru mengambil kesempatan selagi Jendral lengah, ia memutar pergelangan tangan Jendral, membuat Jendral meringis kesakitan. Segeralah Asa berlari, mencari perlindungan dibalik Hanan dan Raden yang masih mengenakan pakaian Aya itu.
"Cocok juga lo." Bisik Asa pada Raden yang masih fokus pada Aya, Jizan dan Jendral.
Sudah terlalu ramai ditempat ini, sejak kemunculan Jizan, Mahendra, Naja, Lathif juga datang. Mahendra yang menangkap sang adik sedang berdiri dibelakang Jizan segera menariknya kedalam pelukannya, berusaha menenangkan adiknya yang tak ia ketahui seperti apa perasaannya saat ini.
Siapa yang bisa menerima perkataan seseorang yang mengatakan bahwa ia akan membunuh sahabatnya? Tentunya Asa tak ingin itu terjadi, namun tak ada yang bisa ia lakukan kecuali berbicara. Kesabaran dirinya sangat diuji saat ini, ia tak bisa melampiaskan semuanya, karena ia tak memiliki apa-apa.
Air mata yang tak ia harapkan terjatuh itu mulai membasahi pipinya, ingin sekali dirinya menghapus jejak air matanya itu, ia tak ingin terlihat lemah saat ini, tidak di depan Jendral atau siapapun saat ini.
"Bukan ini yang disebut bahagia, Jen."
Posisi Jendral saat ini begitu terbalik, awalnya memang seolah kemenangan ada ditangannya, namun sekarang kemenangan itu seolah mengkhianatinya, sama seperti manusia-manusia dalam hidupnya.
"Lo gak tau apapun, Sa. Gue cuman mau bahagia.. Tapi dunia gak pernah mau gue bahagia, atau sekedar ngerasain sedikit apa itu bahagia." Sesaat, wajah yang awalnya terlihat dingin itu menyiratkan kesedihan hatinya.
Jendral hanya ingin bahagia.
Asa POV.
Aku sadar satu hal, tak selamanya manusia jahat terlahir dari latar belakang yang jahat, dan tak semua manusia baik, terlahir dari latar belakang yang baik.
Manusia didepanku ini, bukanlah manusia jahat sungguhan layaknya dalam cerita dongeng, ia masih dalam proses pencarian jati diri, dimana dirinya sendiri tak mengerti apa yang seharusnya ia cari.
Aku yang terlalu egois, sampai-sampai tak membiarkan dirinya untuk membela, aku yang terlalu keras kepala untuk menghadapi hatinya yang rapuh, aku terlalu tak sabaran, sampai-sampai aku tak membiarkan dirinya bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanficTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...