.....
*Harap diminta kebijakannya dalam membaca part ini, kata-kata kasar tidak dianjurkan dipakai dikehidupan sehari-hari, juga tolong dengarkan sound track kali ini, agar emosinya sedikit tersalurkan^^
Hari itu tiba, hari dimana Reka ulang kejadian dimulai, tak ada paksaan dari siapapun, Jendral yang menyanggupi permintaan Jizan, hitung-hitung penembusan rasa bersalahnya atas mendiang sahabatnya.
Jizan POV.
Hari ini aku akan melihat bagaimana akhir hidup adikku, aku akan melihat semuanya, kejadian lima tahun lalu, akan bisa kulihat dengan mata kepalaku sendiri.
Jizan POV End.
Dadanya benar-benar sesak, seolah ada yang membut napasnya tertahan, sangat sesak sampai rasanya ia ingin menangis, padahal belum ada yang ia lihat.
Walaupun ia bisa melihat kejadian yang menjadi akhir hidup kembarannya, ia tetap tak bisa melakukan apapun, karena yang ia lihat hanyalah ilustrasi kejadian lima tahun lalu.
Dihadapannya ada Jendral yang memakai pakaian berwarna oranye, lengkap dengan kalung nama yang tergantung dilehernya bertuliskan "Tersangka". Diarah yang lain, juga ada Aya yang menggunakan kalung nama bertuliskan "Saksi". Karena Aya adalah satu-satunya saksi yang ada di TKP, maka ia adalah kunci terselesaikannya kasus ini.
"Kepada tersangka, silahkan melakukan reka ulang kejadian sesuai yang kamu lakukan lima tahun lalu pada korban."
Jendral mendengar instruksi dari pihak kepolisian, ia memang mendengarnya, namun raganya tetap tak melakukan pergerakan apapun, rasanya ia sendiri tak sanggup melakukan hal itu untuk kedua kalinya. Bagaimana bisa, ia melakukan itu pada sahabatnya sendiri, ada sesak yang melanda dadanya.
"Ayo lakukan, aku yakin, Allah akan memaafkanmu, Allah gak akan membenci hambanya."
Jendral tahu, itu suara Asa, ia sangat tahu kalau Asa sedang menyemangatinya dari luar garis kuning. Memang seharusnya ia menerima ini, menerima kalau ia sendiri harus menerima akibat dari apa yang ia perbuat, tangannya sudah terlanjur ternoda, yang membuatnya sangat membeci tangannya sendiri.
"Baik, saya akan lakukan."
Yang menjadi ilustrasi korban adalah Lathif, Lathif mengajukan dirinya sendiri.
Matanya menatap Lathif seolah benar-benar ada sahabatnya disana. Tangan kekarnya menyergap Lathif dari belakang, ia mengunci pergerakan Lathif dengan mengalungkan sikunya pada leher Lathif.
Ia membanting Lathif sampai terjatuh ditanah, ia sangat ingat kejadian ini, dimana tatapan matanya bertemu dengan mata sahabatnya yang telah pergi lima tahun lalu, tanpa terasa air matanya jatuh, mengenai pipi putih milik Lathif yang ada dibawahnya.
"Maaf.." Lirihnya, tak sanggup. Lathif didepannya hanya mengangguk, ia tahu sangat berat ketika harus merasakan dan mengulang lagi kejadian yang tak ingin terulang, justru diminta untuk melakukannya kembali, tapi Jendral tatap harus menghadapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanfictionTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...