.....
Lag-lagi aku duduk disini menanti hadirmu yang sangat berarti. Ji, bagaimana bisa semua orang menganggapku gila, hanya karena aku mengatakan aku akan menemuimu? Dan mengapa semua orang selalu mengatakan kalau kau tak akan ada untukku? Siapa yang gila, aku atau mereka?
"Hai, apa kabar Aya?" Sekarang orang yang sebelumnya kutunggu-tunggu datang, dengan jarak duduk yang sedikit berbeda. Biasanya kau menjaga jarak satu meter lebih, tapi saat ini bahkan tak bisa disebut satu meter.
"Ji, Kamu itu nyata kan?" Tanyaku sembari memberi jarak yang sekiranya cukup.
"Tentu."
"Kalau gitu coba petik bunga yang ada di sana, terus kasih ke aku."
Sekarang kau sedang memetik bunga untukku, aku memandangmu dari kejauhan untuk sekian kalinya, dan setelah kau sampai kau segera memberikan bunga itu diatas telapak tanganku.
"Terima kasih." Ucapku setelah menerima bunga itu. Siapa yang mengatakan kalau keberadaannya tak nyata? Bahkan bunga yang ia petik sekarang ada dalam genggamanku.
"Aya, sepertinya banyak hal yang perlu kamu sadari, terutama kenyataan. Mungkin dibalik semua larangan yang orang-orang katakan padamu, semuanya memiliki maksud yang perlu kamu mengerti."
"Kalau seandainya saya gak ada disampingmu, apa yang akan terjadi?"
"Hancur. Semuanya bisa hancur, Ji." Sungguh, rasanya benar-benar sesak, bisa-bisanya ada seseorang yang mengatakan ini setelah posisinya dalam hidupku sudah seperti harapan.
"Memangnya, apa yang bisa membuatmu pergi dariku? Apa ada alasan yang bisa merebutmu dari hidupku?"
Aku tak bisa terus memperhatikan dirinya, aku tak bisa selalu menatap matanya yang teduh, dan apa aku tak bisa memiliki waktu yang tak terbatas bersamanya? Kalau diibaratkan, bisa saja hadirmu adalah zat adiktif yang bisa membuatku ingin terus-menerus bersamamu.
"Entah apa yang terjadi ditahun-tahun terakhir, tapi sejak saat itu aku terus merasa takut dengan orang baru dan hatiku selalu merasa sesak setiap aku menapakkan kakiku ditaman ini. Kamu pasti tau kan? kalau aku menyukai tempat ini, banyak kenangan masa kecil kita disini."
"Ji, sejak kapan ada luka ditelapak tanganmu? Apa kamu terluka?" Pertanyaan yang terlontar dari bibirku begitu saja, saat melihat telapak tangan Jihad memiliki bekas luka, hanya bekas luka, mungkin itu luka karena goresan yang dalam, terlihat sudah lama, bukan luka baru.
Kamu tak menjawab pertanyaanku, aku merasa ada yang berbeda dengan dirimu, banyak hal yang berubah termasuk sikapmu. Terakhir kita bertemu adalah kemarin, dan kemarin tanganmu baik-baik saja.
Aku juga tak mengerti mengapa aku selalu merasa ada yang tak benar dengan diriku, seperti ada yang hilang dalam ingatanku. Bagaimana bisa aku hidup dengan tenang ketika aku masih tak mengerti apa yang terjadi dengan diriku.
"Aya, saya bukan lagi orang yang kamu kenal. Saya berbeda, dan kamu harus mengerti gak selamanya manusia bisa berada disismu."
"Tapi Jih-"
"Saya ada sedikit urusan, jadi saya pamit. Pulanglah lebih cepat, saya gak suka lihat kamu sendirian disini."
Kamu meninggalkanku dengan begitu banyak pertanyaan, salah satunya adalah 'tak selamanya manusia bisa berada disismu.' Memangnya kamu berada dimana? Bukankah sudah jelas kamu ada didepanku saat ini, bukankah kapanpun aku bisa menemuimu, memangnya ada dinding yang membuatku tak bisa menemuimu?
Aya POV End.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE WE JUST MET
FanficTerlalu dikata sederhana untuk sebuah kenyamanan yang tercipta, sampai-sampai ia lupa, bahwa ia hidup dalam kebutaan atas kenyataan. Akankah ia bisa keluar dalam zona nyamannya? ____________ "Ini adalah cerita yang sangat bagus." "Bukankah begitu?" ...