◍19 Mengakui secara tidak langsung

28 14 21
                                    

.....

Asa POV.

Aku baru saja pulang dari rumah Jendral, ternyata berteman dengannya tidak buruk, apa aku saja yang terlalu berlebihan dan terlalu percaya diri bahwa dia bukan orang baik?

Memang sudah seharusnya aku memberinya sedikit kesempatan agar ia bisa aku percayai lagi, dia juga bukan tipe orang yang dengan mudah menuduh orang lain, buktinya saja, Jendral tidak langsung menuduh Hanan di depanku.

Dia juga bukan tipe manusia kaku yang tak bisa tersenyum dan tertawa, contohnya saja saat aku berbicara mengenai rencana yang aku pikirkan, Jendral tertawa begitu saja, aku sendiri tak tahu apa yang lucu dari ucapanku waktu itu.

Mungkin rencanaku terdengar kekanak-kanakan, akan lebih baik jika menggunakan cara yang Jendral berikan padaku. Tapi itu sedikit sulit untukku, aku merasa tak yakin seratus persen pada diriku sendiri.

Aku punya alasan sendiri, mengapa aku begitu menyayangi Aya. Kalau bukan karena Aya, aku mungkin tak bisa sebahagia ini, aku tak akan bisa memiliki sahabat seperti Aya, dan hidupku tak akan bisa semenyenangkan ini.

Maka, akau akan melakukan cara apapun agar Aya sembuh, juga menyelesaikan kasus yang membuat Aya menjadi seperti itu. Mungkin terdengar bodoh, tapi ini lah diriku, aku akan selalu membuatnya bahagia, aku tak akan bisa membiarkannya berlarut-larut dalam kesedihan.

Seperti saat lima tahun lalu, Aya benar-benar terlihat hancur saat itu, aku tak bisa membayangkannya bila itu terjadi untuk kedua kalinya.

Yang dikatakan Jendral benar, aku harus bisa merebut barang itu dari Hanan, Dengan begitu, misteri kasus Jihad bisa terbongkar dengan perlahan, juga penyakit Aya pasti akan sembuh.

Aya harus tau barang itu.

"Haah.. cape, Aya pasti udah tidur, yaudahlah."

Aku memejamkan mataku untuk bisa terlelap dan bangun dengan badan segar dipagi hari.







































































































































































Saat ini aku sedang menunggu Hanan di cafe tempat terakhir kami bertemu, sudah seminggu lebih aku tidak bertemu ataupun berbalas pesan dengannya, sesuai rencanaku bersama Jendral, aku akan berbaikan dengan Hanan.

"Gue minta maaf, gue gak ada niatan buat marah waktu itu, mungkin gue terlalu terbawa suasana. Maaf ya, Nan."

"Iya, gue juga minta maaf, karena gue gak bisa kasih tau lo soal barang itu. Semoga persahabatan kita langgeng ya, Sa. Gue harap lo gak lagi nipu gue.."

Hanan tersenyum kearahku, tapi yang aku lakukan justru menunduk. Bukan, bukannya aku malu, aku sedikit merasa bersalah padanya, karena aku harus bertindak lebih jauh tanpa dirinya, bahkan kini aku mulai mencurigainya.

"Gak lah, gue gak akan begitu. Nan, lo masih inget gak waktu Aya minta lo buat ngenalin dia ke Jendral?" Aku berusaha senormal mungkin untuk merubah alur topik pembahasan kali ini.

"Inget.. Kenapa?" Jawabmu cepat setelah selesai meminum minuman bersoda kesukaanmu.

"Lo udah bilang ke Jendral?" Tanyaku lagi, berbasa-basi.

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang