◍8 Seharusnya sudah tak ada

22 16 14
                                    

.....

Beberapa hari yang lalu.

Seorang pemuda duduk menunggu disebuah halte bus yang sepi, ia menunggu dengan kesabran penuh. Sudah hampir dua jam lebih ia menunggu, namun bus yang ia tunggu belum sampai.

"Seharusnya gue gak terlalu semangat, mana nunggu dua jam sembari berdiri, panas lagi."

Pemuda itu hanya mengeluh selama ia menunggu, sampai akhirnya bus yang ia tunggu-tunggu datang, membawakan seseorang yang sangat ia butuhkan.

"Wih Zan, lo kok makin mirip sama adek lo. Upss, maap salah ngomong."

"Cih, gak ada topik lain? Gak usah bahas orang yang gak jelas statusnya, sekarang lo mau apa sampe ngajak gue ketempat ini?" Tanya pemuda yang disebut 'Zan' sebelumnya.

"Gue bisa bantu lo, soal kasus adek lo itu. Cuman gue butuh bantuan, karena buat dapetin bukti, gw butuh orang yang bisa sejajar sama orang yang terlibat dengan adek lo."

"Heh, gue bisa lakuin apapun, asal status adek gue jelas nantinya."

"Bagus lah."

Pembicaraan mereka berakhir, keduanya meninggalkan halte dan memulai pembicaraan ringan lainnya.


























































Beberapa hari setelahnya.

"Aya, gue pesan mie instan rasa soto ayam tiga, telornya setengah kilo, sama teh sebungkus, terakhir gue pesen gula sebungkus, totalnya berapa?"

Dia tetangga baru yang sempat Asa ceritakan sebelumnya, namanya Raden, anak pindahan dari Jakarta, dengan belangkon khas Yogyakarta yang menjadi ciri khasnya. Kalau dengar-dengar dari mulut tetangga, Raden adalah anak pak Haji yang sedang kebetulan pindah karena urusan pekerjaan orang tua.

"Tiga puluh sembilan ribu kak, gak ada lagi? Biar gak bolak-balik tiap minggu." Tanya Aya pada lawan bicaranya itu, ia bertanya bukan tanpa sebab, karena sering kali Raden datang empat kali seminggu hanya untuk berbelanja kebutuhan rumahnya.

"Enggak ah, Mama nyuruhnya ini aja, nih ya uangnya."

Selembar uang berwarna biru tergeletak dimeja, setelah Aya mengambilnya ia menyerahkan uang kembalian, tapi uang itu ditolak oleh Raden.

"Buat jajan lo aja, soalnya kata Mama yang jualan ayu."

Raden pergi begitu saja, meninggalkan Aya yang kebingungan, pasalnya yang menjaga toko adalah dirinya, kalau bukan dirinya pasti Mas Mahen atau Ibu, dan diantara mereka beriga tidak ada yang bernama 'Ayu'.

Setelahnya Mahendra masuk kedalam toko, ia melihat adiknya yang berdiam diri sembari memegang uang lima puluh ribu ditangannya, ia sangat heran dengan kelakuan adiknya itu.

"Aya, kamu kenapa? Uanganya kok gak disimpen sih?" Tanya Mahendra sembari mengambil uang itu dan menaruhnya kedalam laci. "Oh iya, minggu depan kontrol lagi ke dokter Naja oke? Obatnya udah diminum teratur kan?"

"Iya kak, teratur kok." Balas Aya singkat.

"Tadi kamu kenapa? Kok ngelamun gitu, mikirin siapa? Jihad lagi, Mas dah bilang ke kamu loh buat gak ketemu dia lagi."

"Gak kok, Aya gak main sama Jie." Tentu saja ia berbohong. "Tadi Raden beli sembako, terus bilang kalo kembaliannya 'Buat jajan lo aja, soalnya kata Mama yang jualan ayu'. Mas, emangnya Ayu siapa?"

Mahendra yang mendengar penjelasan adiknya sontak tertawa sejadi-jadinya, berbanding terbalik dengan adiknya yang justru semakin heran dengan sikap sang Kakak.

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang