◍23 Pengkhianatan

30 11 21
                                    

.....

Asa menutup panggilan suara dari Jendral dengan beberapa sumpah serapah diakhir panggilan. Ia kembali sibuk mencari barang yang Hanan sembunyikan, jujur saja ia hampir kelelahan, sudah lebih dari dua jam ia mencari di rumah Hanan bersama Jendral, dan masih tak menemukan apapun.

"Kalau ada Aya, kayaknya gampang deh buat nemuin barang itu." Gumamnya ditengah-tengah aktivitasnya. Ingatannya berputar saat ia masih duduk dibangku SMA, Aya pernah mengatakan sesuatu padanya.

"Sa, kayaknya aku lagi suka bunga lily dehh.. Apa ya? Dia punya filosofi yang bagus banget."

"Masa iya si Jihad ngasih bunga?"

"Masa iya, ngasih bunga betulan? Berarti Hanan rawat dari lima tahun lalu dong? Hmm.." Sambungnya. Ditengah kebingungannya, Asa kembali teringat sesuatu.

"Eh, Saa! Kamu tau gak? Jihad juara dua lomba melukis tingkat kabupaten loh, kemarin!"

"Lomba melukis? Aya suka bunga?" Sejenak memang Asa sangat berpikir keras untuk menemukan jawabannya, sampai akhirnya bisa ia simpulkan, bahwa barang yang harus ia cari adalah sesuatu yang tipis, mudah rusak, juga berukuran lumayan besar.

Ia berjalan mendekati satu tempat di gudang itu yang belum sempat ia periksa. Tempat paling ujung dimana tempat itu terhindar dari cahaya matahari.

"Harusnya ada.." Gumamnya ragu.

Asa menarik kain putih yang terlihat lebih bersih dari kain-kain lain yang ia lihat sebelumnya, kain ini bahkan terlihat baru. Tempat yang seharusnya paling berdebu karena paling ujung dan tak terurus, justru tempat yang paling sedikit memiliki debu.

"Ya Allah.. I-ini..?"

Asa tak bisa berkata-kata, bagaimana bisa barang seindah ini Hanan menyimpannya seorang diri?

Ia semakin percaya bahwa Hanan adalah dalang yang selama ini ia cari, semua keraguannya seolah terbayar dengan penemuan lukisan ini didalam gudang milik Hanan.

"Eh, surat? Loh, kok udah dibuka?" Asa menemukan beberapa surat yang beberapa kertasnya sudah robek, kalau dilihat dari sobekan yang ada, surat ini dibuka dengan paksa.

Karena rasa penasarannya yang begitu tinggi, Asa mengambil satu surat yang sangat membuatnya penasaran, dimana disana tertulis..

"Untuk Abang, Ayah, dan Bunda."

"Seharusnya gue gak buka surat ini, Ji.. Maaf, tapi gue penasaran banget.." Lirihnya penuh rasa penyesalan, namun tetap membuka dan mulai membaca surat itu.

Sontak saja, Asa menangis setelah membaca surat itu, walaupun tangan yang menulis sudah terkubur jauh didalam tanah lima tahun lalu, namun perasaan sang penulis surat tersampaikan dengan baik.

Asa masih tak mengerti, bagaimana bisa seorang Jihad menulis surat ini seakan-akan ia tahu bahwa kematiannya semakin dekat?

Dalam surat itu pun, sudah tercantum jelas, bahwa surat itu ditulis pada tanggal 1 Juni 2***. Dan tanggal kematianya tak jauh dari tanggal penulisan surat tersebut, yaitu 5 Februari 2***.

Asa hampir saja terhanyut oleh perasaan selama membaca surat itu, namun dengan cepat ia segera fokus pada pekerjaannya saat ini. Ia mengambil surat itu dan menyimpannya didalam saku jaketnya.

Segeralah ia hubungi Jendral untuk membantunya mengangkat lukisan berukuran lumayan besar itu.

"Jen, gue udah nemu nih, lo kesini ya."

"...,"

"Hooh, cepetan."

Sembari menunggu Jendral datang dan membantunya, Asa sesekali melirik lukisan itu dan bertanya-tanya mengapa harus Hanan yang menyimpan ini? Apakah Hanan dititipkan oleh Jihad, atau Hanan yang merebutnya?

LIKE WE JUST METTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang