Sesampainya di kamar, Riandi langsung menutup pintu dan menyandarkan punggungnya. Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya, ia memejamkan mata sembari mengusap wajahnya gusar.
"Kamu dari mana Mas malam-malam begini?" mendengar suara itu sontak Riandi kaget, ia menatap sang istri yang tengah menatap ke arahnya.
Riandi menetralkan nafas, ia mengunci pintu kamar terlebih dahulu lantas berjalan menghampiri Hanin. Hanin yang di peluk erat oleh suaminya itu mengerut bingung, ia merasa heran saat Riandi membenamkan wajahnya di ceruk lehernya.
Hanin mengusap surai hitam milik sang suami, tidak tahu mengapa Riandi menangis. Meski tanpa suara, Hanin bisa merasakan lehernya basah.
"Mas? Kamu kenapa eh? Jangan buat Hanin khawatir?" lagi Hanin bertanya dengan raut khawatirnya.
Riandi menempelkan bibirnya di leher sang istri, rasanya nyaman jika berada di pelukan Hanin. Seketika beban yang ia rasa sedikit lega. "Ada masalah atau kenapa? Mas Rian ih! Bicara dong, aku 'kan bukan cenayang yang bisa baca pikiran, Mas Rian," gerutu Hanin terkesan tak sabaran.
Bagaimana ia sabar, ia terlalu khawatir dan panik saat melihat Riandi datang dan tiba-tiba menangis di pelukannya. Sudah lama sekali Hanin tidak melihat suaminya menangis.
"Nggak apa. Mas cuma kangen sama kamu. Hanin tau 'kan Mas sayang sama kamu?" meski tak mengerti mengapa Riandi tiba-tiba aneh seperti itu, Hanon hanya mengangguk mengiyakan sebagai jawaban.
"Hanin tau. Jadi Mas nangis cuma kangen aku doang?" Riandi berdehem. Kepalanya mendusel-dusel di bahu sang istri, untuk mencari kenyamanan di sana.
Pria itu menatap Hanin dari samping, wajah istrinya terlihat tirus dan pucat. Membuat hati Riandi tersentil melihat kondisi istrinya seperti ini, padahal ini hal wajar bagi semua perempuan khususnya yang melahirkan.
Harusnya ia tidak sepanik ini, mungkin Hanin akan segera sembuh dan bisa kembali berjalan.
"Iya. Jangan tinggalin Mas, Nin." Setelah mengucapkan kalimat itu, Riandi langsung terlelap tidur. Menyisakan Hanin yang samar-samar mendengar bisikan suaminya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum.
***
3 minggu kemudian...
Meski keadaan Hanin masih belum sepenuhnya pilih, wanita itu akhirnya bisa berjalan meski pelan-pelan. Semenjak kondisi Hanin sudah membaik, Hanin mengajak Riandi untuk kembali ke rumahnya. Dengan alasan; Hanin tidak mau merepotkan Mama Tari karena mengurusnya.
Awalnya Mama Tari dan Rayyan tidak setuju, karena kondisi Hanin masih rawan. Tapi akhirnya mereka mengizinkan Hanin untuk kembali ke rumahnya, dengan catatan; Hanin harus tetap menjaga kesehatan. Mama Tari juga bilang akan menjenguk jika ada waktu senggang.
Karena Riandi juga sudah mulai sibuk di kantornya, jadi suaminya itu meminta Ainun—tetangga sebelahnya untuk menemani Hanin. Mengingat Ainun dan Hanin itu teman dekat, jadi Riandi tak merasa sungkan. Untungnya juga Ainun setuju, bahkan dengan senang hati ia akan menjaga temannya.
"Kamu mau kemana? Jangan banyak gerak, nanti perutmu sakit lagi, Nin," tegur Riandi yang memergoki Hanin sedang berjalan mondar-mandir di depan rumah.
Yang di tegur lantas menunjukan deretan gigi putihnya. Setahu Hanin, Riandi masih mandi. Begitu cepat sampai memergoki dirinya di teras depan.
"Mau jalan-jalan bentar, pegel Mas." Riandi meraih tangan Hanin untuk memapahnya. Melihat cara berjalan Hanin membuat Riandi meringis.
Hanin juga sering merasakan kesakitan di daerah perutnya jika banyak bergerak. Karena tidak mau hal itu terjadi, Riandi mengawasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)
RomanceHanin harus menerima kenyataan pahit saat kehilangan anak yang di kandungnya, akibat kecelakaan itu Hanin di nyatakan tidak bisa memiliki keturunan lagi. Sebulan setelah insiden itu terjadi, Riandi datang bersama seorang wanita di hadapan keluarga d...