21. Di Hadapkan Pilihan

989 28 0
                                    

Sore harinya, di dalam kamar Hanin sedang duduk di sofa sambil menatap indahnya pemandangan luar rumah sore hari. Hati Hanin merasa tenang, dengan duduk sambil menikmati semilir angin.

Tidak pernah merasa bosan menatap indahnya semesta ciptaan sang Khalik, yang begitu enak di pandang.

Hanin tersentak saat tiba-tiba pipinya di kecup. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si Riandi Ardhafy. Dari mula jadwalnya sampai sekarang, sang suami selalu saja mencari kesempatan untuk menyentuhnya, seolah tidak puas melewatkan seinci tubuhnya.

"Ngagetin! Untung nggak punya riwayat penyakit jantung!" tegur Hanin, mengusap dada karena kaget.

Riandi yang baru selesai mandi pun terkekeh. Lagi pula siapa yang tidak terpesona melihat Hanin yang memakai dress, rambut di gerai sambil selonjoran di sofa, hingga terpampang jelas betapa mulus dan putih kakinya.

Makanya ia langsung menghampiri, meskipun masih memakai handuk dan rambut basah.

"Sebuah keajaiban, sore-sore kedatangan bidadari di kamar," kekeh Riandi, tangan kekarnya memegang pinggang Hanin dan mengecup pundak istrinya.

"Dih gombal banget, dasar!" cibir Hanin sambil terkekeh. Gombalan kaum bucin, tapi tidak bisa mengelak jika Hanin jadi tersipu di buatnya.

"Cantik banget sih. Aku kadang insecure kalau jalan sama kamu, berasa kayak bawa adek," ungkap Riandi. Lagi, ia terkekeh sesekali menyesap tengkuk sang istri yang mengundang selera.

Jika sudah berdua di kamar, penampilan Hanin ya seperti ini. Memakai pakaian terbuka, tidak menutup aurat dan selalu tampil bagaikan anak ABG.

Toh tidak apa-apa juga 'kan jika berpenampilan seperti itu, asalkan jika di luar menutup aurat. Hanin sudah terbiasa tampil seperti ini di depan Riandi, jadi tidak malu-malu seperti saat pertama kali di suruh mencoba.

"Jahat banget. Udah di gauli, di temenin selama 4 tahun, di kasih cinta dan perhatian. Eh cuma di anggap family zone doang, jahat ya kamu, Mas," Hanin bersedekap dada seraya pura-pura cemberut.

Riandi menggaruk pelipis. Bahkan ia tidak bermaksud begitu. Tapi tidak apa, ia juga suka melihat wajah Hanin yang marah dan cemberut seperti ini.

"Becanda kenapa sih, serius amat deh, Bu. Nanti kita ke Mall ya, aku harus banyak-banyak beliin kamu baju seksi kalau cantik gini." Hanin tersipu, ia membalik badan agar berhadapan dengan Riandi.

Tangan Hanin melingkar di leher Riandi, harus berjinjit karena tinggi badan keduanya berbeda. Jari mungil Hanin mengusap dada polos Riandi yang sedikit berbulu.

"Jadi biasanya aku nggak cantik dong?" seloroh Hanin.

"Nggak gitu sayang. Cantik kok, kamu selalu cantik di mata Mas. Kamu selalu cantik pake pakaian apa pun, nggak pake juga cantik banget," Riandi menyeringai, dengan pandangan mata yang tidak beralih menatap Hanin.

Ucapan frontal Riandi membuat Hanin langsung malu, ia menggeplak dadanya karena selalu saja menggodanya. "Ih omes mulu, heran."

"Apa Mas harus cuti kerja aja, biar si Ray yang gantiin Mas sementata."

Dahi Hanin mengerut, tidak biasanya Riandi mengajukam cuti jika tidak penting-penting amat. Apalagi Hanin tahu, suaminya ini pria yang gila kerja. Tapi meskipun begitu, Riandi selalu bisa mengatur waktu.

"Loh kenapa, Mas? Emangnya ada urusan apa sampe kamu pengen cuti?" Riandi melingkarkan tangannya di punggung ramping Hanin, merapatkan tubuhnya dan membenamkan kepalanya di ceruk leher Hanin.

"Mas kangen, rasanya nggak mau jauh-jauh dari kamu. Tadi aja di kamar mandi Mas udah kangen, kamu sih ngangenin terus jadi orang. Tanggung jawab, hayoloh," goda Riandi, dengan nakalnya mencolek pinggang  istri mudanya.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang