06. Persiapan Pernikahan

862 28 0
                                    

Selepas bangun tidur, Hanin terbangun di tengah malam kala merasakan haus. Ia mengucek mata, menoleh ke arah samping ranjang tempat dimana suaminya berbaring. Setelah sholat isya tadi, Hanin tertidur hingga bangun tengah malam.

"Ternyata benar. Konsekuensi punya suami baik dan tampan, harus siap di madu."

Di tatapnya wajah Riandi yang sedang tidur sembari memeluk tubuhnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Riandi membuat Hanin berdenyut sakit, rasa sesak kian mendera dirinya.

Dengan hati-hati Hanin melepaskan tangan besar Riandi dari perutnya, melihat perut kekar sang suami membuat Hanin diam sejenak. Setiap tidur Riandi selalu bertelanjang dada, jadi tidak heran jika dirinya selalu melihat pemandangan yang memanjakan mata ini.

Karena takut Riandi terbangun, Hanin memakai kembali piyama tidurnya yang entah di lepas kapan. Pelakunya tentu saja orang yang tengah tidur di samping dirinya.

Hanin bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan mengambil wudhu. Setelah selesai memakai kembali alat sholatnya. Ia memulai takbir hingga salam.

"Assalamualaikum warahmatullah..."

Kedua tangan Hanin menengadah, seraya berderai air mata. Bersujud di waktu malam adalah hal yang paling menenangkan baginya. Dimana ia bisa mencurahkan segala keluh kesah kepada sang pencipta di kesunyian malam.

"Ya illahi...berikan hamba petunjuk, pertolongan serta kekuatan. Semoga hamba bisa ikhlas dan ridho menjalani ini semua ya Allah. Sesungguhnya Engkau maha mengetahui yang tidak aku ketahui, berikanlah pertolongan kepada hamba. Karena Engkau sebaik-baiknya penolong untuk hamba..." Hanin menangkup kedua wajahnya dengan telapak tangan.

Tangisnya pecah begitu saja setelah baitan doa yang ia panjatkan. Sesak kembali menghantam dada, Hanin lantas bersujud sembari membekap mulutnya.

Riandi yang samar-samar mendengar suara isak tangis pun perlahan membuka matanya. Mata yang setengah terbuka itu mengedar ke semua sudut kamar.

Hingga atensi Riandi fokus pada Hanin yang sedang memunggunginya dengan badan gemetar. Riandi memejamkan mata, ia memijat pelipisnya.

"Hanin..." panggilan dari suara berat itu menghentikan tangisan Hanin.

Wanita itu segera mengusap air mata, agar Riandi tidak mengetahuinya. Hanin yang masih berbalutkan mukena putih itu menoleh saat Riandi duduk di hadapannya,  Menatap serta menangkup wajahnya.

Bibir Riandi membenamkan kecupan di mata merah sang istri dengan lembut. "Kenapa kamu tidak membangunkan Mas untuk tahajud bersama? Tumben," tanya Riandi.

Di pelukan Riandi, Hanin hanya diam dan menggigit bibirnya. Rasanya ia ingin mendorong tubuh Riandi agar menjauh, namun Hanin tidak ada keberanian untuk itu. Takut Riandi akan tersinggung.

"M-maaf, Hanin nggak mau menganggu tidur kamu, Mas," balas Hanin.

Dahi Riandi mengerut. Alasan yang di berikan Hanin tidak logis. Biasanya Hanin selalu membangunkan dan mengajaknya sholat malam, seperti yang biasa mereka lakukan.

"Sejak kapan kamu berpikiran seperti itu? Sengantuk-ngantuknya Mas, apa pernah Mas nggak bangun di ajak sholat malam?" seloroh Riandi, mampu membuat Hanin terbungkam.

Sepertinya percuma juga ia menenangkan diri apabila masih satu atap dengan Riandi.

Jempol Riandi mengangkat dagu Hanin agar memandangi wajahnya. Sejak kemarin Hanin terus saja menunduk dan membuang muka, jelas Riandi tersinggung.

"Kamu menangis?" Hanin menggelengkan kepala cepat. "Udah berani berbohong? Mas udah lihat kalau kamu nangis tadi."

Hanin tidak tahu mau bicara apa. Jika boleh jujur, Hanin ingin menjaga jarak dulu dengan Riandi. Ingin mengatakan, tapi kalimat itu hanya mampu tertahan.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang