14. Cinta Pertama Anak Perempuan

1.1K 32 0
                                    

Hanin meringis sambil memegangi perutnya yang kembali nyilu. Ia memegang kepala ranjang, untuk menahan bobot tubuhnya kemudian mendaratkan bokongnya di tepian ranjang.

Kegiatan beres-beres kamarnya terganggu saat rasa sakit dan nyilu itu kembali mendera. Padahal Riandi dan Nadine sudah memperingati Hanin agar tidak beraktivitas berat dulu.

Tapi Hanin memang keras kepala. Bagaimana ia bisa seharian tanpa melakukan apa pun, tentunya Hanin merasa sangat bosan jika terus berdiam diri. Apalagi membersihkan kamar adalah kegiatannya sehari-hari.

Setiap kali kecapean, selalu saja menahan sakit dan berakhir jadi bisa diam.

"Kalau diem terus aku bosen banget. Kalau Mas Rian sama Mbak Nadine masih mending ada kerjaan, kalau aku? Boro-boro, beresin kamar aja udah sakit gini. Ini tuh kenapa ya?" monolognya pada diri sendiri.

Tidak lupa juga setelah makan, ia selalu meminum obat agar rasa nyerinya berkurang.

Setelah di rasa agak baikan, Hanin memutuskan untuk keluar dari kamar. Tujuannya adalah ke ruang TV. Untuk menonton apa saja yang di tayangkan saja, meskipun Hanin tidak tahu film apa, setidaknya mengurangi rasa bosannya.

"Non, mau buah-buahan nggak?" tanya si Mbok kala berpaspasan dengan Hanin yang baru saja turun dari tangga.

Hanin mengangguk. Sepanjang sakit, Riandi menjadi lebih protektif, meski sebelumnya juga sama.

"Boleh Mbok. Nanti antarkan ke ruang TV aja ya, soalnya Hanin mau ke sana."

Si Mbok mengulas dan pamit undur diri. Selesai mengobrol singkat, Hanin mendudukan dirinya di atas karpet berbulu dan menyalakan TV.

Ini sudah memasuki jam makan siang, mungkin saja Riandi mengiriminya pesan. Berhubung Hanin tidak membawa ponsel, ia tidak tahu.

Entah mengapa, Hanin ingin menjaga jarak dengan suaminya itu. Setidaknya sampai hatinya kembali merasa tenang.

"Ambil nggak ya? Jangan sih, makin males kalau deket-deket sama Mas Rian."

Tiba-tiba saja Hanin teringat Mama Tari—Ibu mertuanya, sudah lama sekali Mama Tari tidak datang berkunjung. Mungkin kesibukan mengurus kerja, jadi Ibu mertuanya itu belum ada waktu untuk mampir ke sini.

Mama Tari itu Ibu mertua yang baik, Hanin pun sudah menganggap beliau sebagai Ibu Kandungnya sendiri. Hanin menjadi wanita beruntung memiliki mertua baik seperti Mama Tari, yang selalu melimpahkannya dengan kasih sayang.

"Mama Tari lagi apa ya? Apa Mama baik-baik aja? Gimana keadaan Mama?"

Ting...tong...

Tong...tong...

Suara bel rumah berbunyi, Hanin menoleh ke arah pintu. Tapi si Mbok sudah lebih dulu membuka pintunya.

Ternyata yang datang adalah Ayah Zaffar—Ayahnya Hanin. Kedatangannya ke sini untuk menemui anak dan menantunya, karena ia baru saja mengadakan sowan dengan alumni pondoknya.

Karena masih sekitaran Jakarta, Ayah Zaffar memutuskan untuk mampir ke kediaman Hanin.

"Assalamualaikum, Mbok," salam Ayah Zaffar.

"Waalaikumsalam, eleuh-eleuh ada Pak Zaffar ke sini. Sok atuh Pak masuk dulu."

Ayah Zaffar tersenyum tipis. "Terimakasih. Dimana putriku, Mbok? Kenapa sepi sekali?"

"Non Hanin lagi di ruangan TV, Pak. Katanya lagi sakit perutnya. Pak Zaffar susul aja, Mbok mau buatkan minum dulu."

Ayah Zaffar tersenyum haru dengan kedua mata yang berkaca-kaca melihat putrinya sedang lesehan di karpet. Rasa rindu terasa menggebu, sebab sudah lama keduanya tidak bertemu.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang