17. Mertua Dan Para Menantunya

1K 32 0
                                    

Pagi harinya Nadine terbangun lebih awal dari sebelumnya. Pagi ini tampak berbeda dari biasanya, pagi ini terasa menyenangkan. Setelah apa yang ia lakukan dengan suaminya semalam, membuat Nadine merasa sangat bahagia.

Sekarang ia sudah menjadi istri seutuhnya dan Riandi juga sudah memberikan hak batinnya. Ia tidak perlu lagi menuntut hak yang tidak Riandi berikan padanya, karena tadi malam Riandi memenuhi segala keinginannya.

Sebelum mandi, Nadine berdiam diri sambil memandangi wajah Riandi yang masih tidur. Entah jam berapa suaminya itu tidur, sampai-sampai lelap seperti itu.

"Terimakasih Mas. Aku harap kamu tidak dzalim dan adil padaku," gumam Nadine. Kemudian ia memberikan kecupan singkat di bibir sang suami, dengan berat hati ia menuruni ranjang.

Di dalam kamar mandi, Nadine berdiam diri sambil memandangi dirinya di depan patrisi kaca. Kejadian indah semalam bagaikan mimpi, sehingga Nadine enggan untuk bangun.

"Ya ampun, semalam kayak mimpi. Ternyata gini ya rasanya malam pertama, nggak terlalu buruk, enak rasanya. Pantesan di luaran sana selalu nagis berhubungan badan."

Tidak bisa di pungkiri jika dia sangat senang sekarang. Semoga saja dari percintaannya semalam membuahkan hasil—yaitu seorang anak. Ia juga berharap, semoga saja Riandi selalu menyentuh dirinya.

Nadine sangat mengharapkan itu, ia ingin Riandi memperlakukannya seperti Riandi memperlakukan Hanin.

Tidak mau berlama-lama sibuk dengan pikirannya sendiri. Nadine segera membersihkan diri, setelah itu ia akan membangunkan Riandi dan menyiapkan segala keperluannya.

Ia berjanji pada diri sendiri untuk selalu menjadi istri yang baik, ia ingin menjalankan perannya sebagai istri sebaik-baiknya.

Riandi terbangun dan meregangkan ototnya yang terasa sangat pegal. Saat membuka mata, ia tidak melihat Nadine di sisinya.

Kepala Riandi terasa sedikit pusing, ia pun mengurut pangkal hidungnya dan menyandarkan kepalanya. "Haninku...Mas rindu kamu..."

Setiap kali mengingat Hanin, Riandi selalu saja ingin menangis. Padahal mereka berada dalam satu atap, berhari-hari tidak menyentuh Hanin rasanya ada sesuatu yang kurang. Riandi berharap, semoga hari cepat berlalu, ia selalu menunggu jadwalnya dengan Hanin.

Yang ada di kepala Riandi, hanya Hanin dan Hanin saja. Bahkan Riandi juga merasa sangat bersalah, membayangkan Hanin ketika bercinta dengan istri keduanya.

Riandi susah berusaha menepis segala tentang Hanin, hasilnya nihil, ia tidak bisa menghilangkan bayang-bayang istrinya.

"Mas, udah bangun, sejak kapan?" lamunan Riandi buyar kala melihat sosok wanita yang tengah mengenakan bathrobe, dengan rambut yang basah.

Wanita itu mengulas senyum dan berjalan ke arahnya, lalu duduk di sampingnya.

"Barusan," balas Riandi seadanya, sambil tersenyum simpul.

"Mau di siapkan air hangat, Mas? Masih jam 3 pagi, mau mandi atau lanjut tidur aja?" tanya Nadine.

Jujur saja, Riandi merasa kurang nyaman saat tangan Nadine mengusap dada polosnya. Ia lebih suka Hanin yang menyentuhnya. Ah, lama-lama Riandi frustasi karena kepikiran Hanin.

"Mandi aja, habis itu kita tahajud bersama."

Senyum Nadine mengembang, merasa senang karena Riandi mengajaknya beribadah bersama.

"Air hangatnya mau di siapin sekarang atau nanti aja?" Riandi terhenyak saat Nadine memeluknya dari samping dan menyandarkan kepala di dada bidangnya.

"Nanti aja. Kepala Mas masih pusing. Kamu juga masih cape 'kan? Mending diem aja dulu."

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang