"Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" Ayah Zaffar bertanya kala sang dokter sudah selesai memeriksa keadaan Riandi.
Beruntung sekali ia punya salah satu dokter kenalan, ia tidak perlu kesusahan untuk memanggil dokter itu untuk datang ke kediamannya.
Dokter itu memasukan kembali alat-alat medisnya, lalu berdiri tegak menatap lawan bicara.
"Hasil pemeriksaan, tidak ada hal serius yang terjadi pada Riandi. Dia hanya kecapean dan kurang istirahat. Saya hanya menyarankan, sebaiknya makan dan istirahat yang cukup," papar dokter tersebut.
"Baik Dok, terimakasih sudah memeriksa menantu saya. Mari saya antar ke depan."
Riandi hanya diam di pembaringan, tidak mengatakan apa pun, hanya deheman saja yang ia keluarkan. Hingga Ayah Zaffar dan dokter tersebut keluar.
"Maaf, Mas udah lancang sama kamu. Kamu nggak mau lagi sama Mas ya, Nin?" dengan hati-hati Riandi berkata, di tatapnya sendu punggung Hanin yang sedang membelakanginya.
Sedari tadi, Hanin terus saja mengabaikan dan menghindar. Itu yang dia lakukan sampai sekarang. Mungkin dari sikap Hanin, Riandi sadar, jika Hanin benar-benar ingin mengakhiri pernikahan ini.
Jika di paksa pun percuma, ia tidak mau di anggap egois. Ia juga harus memikirkan perasaan Hanin dan menghargai keputusannya, apa pun itu, harusnya Riandi menerima.
Sangat sulit menerimanya memang, tapi mungkin ini yang terbaik. Riandi harus ikhlas melepaskan kepergian Hanin dan menjalani kehidupan mereka masing-masing.
"Tanpa aku jawab, harusnya kamu sendiri udah tahu jawabannya," sahut Hanin, nada bicaranya terdengar lebih tenang, tapi tetap acuh.
"Tatap mata Mas kalau memang kamu ingin mengakhiri pernikahan kita," lirih Riandi. Ia ingin lebih lama menatap wajah cantik alami istrinya, yang mungkin tidak akan bisa ia tatap selama yang ia mau.
Tidak ada respon apa pun, Hanin hanya diam saja. Tapi bahunya terlihat bergetar. Riandi sangat tahu, Hanin paling bisa menyimpan kesedihan sendirian.
Riandi terhenyak saat Hanin berbalik badan dan menatap kedua matanya lekat. "Keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap menggugat cerai besok."
Semakin lemas tubuh Riandi mendengar keputusan Hanin yang sepertinya sudah bulat dan tidak bisa di ganggu gugat. Percuma juga ia memaksa, yang ada Hanin semakin tidak suka padanya.
"Baik, jika itu sudah keputusanmu, Mas bisa apa? Semoga ini yang terbaik untuk kita." Riandi menyibak selimut yang menutupi setengah badannya, lalu menurunkan kakinya.
Aksi nekat Riandi membuat Hanin terbelalak, karena kondisi Riandi masih lemah, baiknya dia harus istirahat terlebih dahulu.
"Mau kemana kamu, Mas?" Hanin bertanya sembari mengikuti langkah Riandi yang entah akan kemana.
Tubuh Riandi limbung, pria itu melangkah dengan gontai hingga tangannya sudah berpegadangan ke knop pintu sembari menahan bobot tubuhnya yang terasa lemas.
Kepalanya berdenyut, sontak Riandi meringis dan memegangi kepalanya.
Karena khawatir, Hanin menahan tubuh Riandi. "Jangan pergi kemana-mana, harusnya kamu berbaring dulu!"
Hanin membantu memindahkan tubuh Riandi ke ranjang dan mendudukannya di sana, tidak bohong jika Hanin sampai kewalahan menahan bobot tubuh suaminya itu.
Rasa pusing yang mendera Riandi perlahan berkurang, ia menyandarkan kepalanya ke sandaran ranjang.
"Mas nggak apa-apa. Sebaiknya Mas pulang, maaf kalau kehadiran Mas bikin kamu nggak nyaman," ucap Riandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)
RomanceHanin harus menerima kenyataan pahit saat kehilangan anak yang di kandungnya, akibat kecelakaan itu Hanin di nyatakan tidak bisa memiliki keturunan lagi. Sebulan setelah insiden itu terjadi, Riandi datang bersama seorang wanita di hadapan keluarga d...