Lama-lama Riandi semakin geram dengan sikap semena-mena Nadine pada Hanin. Tapi karena ini rumah sakit, Riandi tidak ingin memperbesar masalah. Selagi Nadine tidak kasar, Riandi masih bisa bersikap tenang.
Melihat wajah Hanin yang sulit di artikan, Riandi menatapnya dengan sorot sendu. Kemudian Riandi menarik Hanin untuk berdiri di sampingnya dan melingkarkan tangannya di pinggang ramping sang istri.
"Nggak usah di pikirkan, lakukan apa yang membuatmu senang, sayang," bisik Riandi.
Walaupun berbisik, tetap saja masih bisa di dengar oleh Nadine. Wanita berseragam jas putih itu bersedekap dada, sambil memutar bola mata jengah. Sebagai istrinya Riandi, Nadine juga ingin lama-lama di sisi suaminya.
Tapi siapa sangka jika Riandi lebih cenderung perhatian pada Hanin, jelas saja hal itu membuat Nadine kesal dan cemburu.
Padahal Riandi tidak demikian, suaminya itu bersikap adil. Hanya saja berbeda kondisi.
"Udah waktunya pulang?" tanya Riandi sambil menatap wajah lelah Nadine.
Wanita berambut panjang itu mengangguk. "Iya Mas, lagian cuma Hanin yang jadi pasien terakhirku hari ini."
"Baiklah. Kamu istirahat saja dulu, aku dan Hanin akan menunggu. Apa perlu aku belikan makan?"
Hanya di beri perhatian kecil saja membuat Nadine senang, apalagi jika lebih. Pasti rasanya berkali-kali lipat lebih senang.
Sebelah alis Riandi terangkat, Nadine tidak menjawab, melainkan hanyut menatap wajah Riandi dengan binar mata yang kentara.
"Apa yang kamu lamunkan?"
"Eh, maaf, Mas bilang apa tadi?" tanya Nadine, jadi kikuk sendiri karena tidak konsentrasi.
Gara-gara wajah tampan suami, Nadine jadi anteng memperhatikan.
"Kamu sudah makan?"
"B-belum, Mas. Aku baru aja selesai tugas, belum sempat makan," jawab Nadine.
"Oh, oke. Kita mampir ke restoran terdekat. Bagaimana? Atau mau makan di rumah saja?" tanya Riandi pada Hanin dan Nadine.
"Aku mau di rumah aja, Mas. Aku pengen cepet-cepet istirahat," balas Nadine.
Tatapan Riandi beralih pada Hanin. "Kalau kamu Hanin, kamu ingin makan dimana?"
"Aku ngikut kalian—"
"Udahlah, mending makan di rumah aja. Nanti aku yang masak buat makan malam nanti," serobot Nadine.
Riandi menghela napas panjang. "Aku bertanya pada Hanin, tidak sopan jika menyela omongan orang."
Hanin merasa canggung di antara keduanya. Harusnya dia bersikap biasa saja dan lebih berani, toh dia 'kan istri sah dan istri pertama Riandi. Jangan sampai sikapnya yang biasa saja membuat Nadine jadi semena-mena.
"Makan di rumah aja, Mas. Perutku sakit jika banyak bergerak," balas Hanin dan di angguki oleh suaminya.
"Benar, kata Nadine kamu jangan terlalu banyak bergerak. Nanti aku antarkan makan malam ke kamarmu, kamu harus istirahat di kamar."
"Apa-apaan sih Mas? Kan ada si Mbok yang bisa nganterin. Hari ini kamu harus tetap bersamaku di kamar!"
"Mengertilah, Hanin sedang sakit, Nadine. Si Mbok juga udah pulang jam segini, kamu lupa kalau jadwal ART pulang setiap jam 4 sore?"
"Terserahlah! Aku gak mau tau! Biarin aja Hanin ngambil makanannya sendiri! Jangan manja!"
Sepanjang lobby, Riandi membantu memapah Hanin. Padahal Hanin masih mampu berjalan sendiri. Tapi Riandi terlalu khawatiran, sampai-sampai ia harus di papah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)
RomanceHanin harus menerima kenyataan pahit saat kehilangan anak yang di kandungnya, akibat kecelakaan itu Hanin di nyatakan tidak bisa memiliki keturunan lagi. Sebulan setelah insiden itu terjadi, Riandi datang bersama seorang wanita di hadapan keluarga d...