09. Hak Batin Yang Terbagi

1.4K 31 0
                                    

Sedih? Tentu saja. Kata-kata yang Nadine lontarkan pada Hanin membuat Hanin sedikit tersinggung. Tapi Hanin tidak mau menyalahkan Nadine, benar kata madunya itu—sekarang dia adalah istri sah yang berhak melayani suaminya. Apalagi mereka sudah berbagi tugas, sesuai kesepakatan, 5 hari ke depan segala kebutuhan Riandi akan di layani oleh Nadine.

Hanin harus bersabar, ia belum terbiasa saja dengan ini. Perlu membiasakan hati, agar hatinya baik-baik saja. Setelah kepergian Riandi dan Nadine, Hanin memutuskan untuk berbaring di kamarnya.

Ia memegang perut, kemudian meringis merasakan sakit di bagian perutnya. Mengingat pernah ada nyawa di dalam perutnya, Hanin jadi sedih—sedih karena tidak bisa menjaga janinnya. Tapi mau bagaimana lagi, takdirnya sudah begini. Perlu ikhlas untuk segala sesuatu, meski itu berat.

Tangan kanan Hanin terulur mengusap ranjang kosong di samping kanannya, ia menatap sendu. Biasanya bangun tidur ia di suguhkan oleh wajah tampan sang suami, sekarang tidak lagi, seperti sesuatu yang kurang.

"Astagfirullah Hanin, kuat-kuat ya. Inget nggak boleh di pikirkan!" gumam Hanin bermonolog sendiri.

Karena tidak mau kepikiran Riandi yang membuat hatinya semakin rindu, Hanin memutuskan untuk sholat duha dulu, lepas itu istirahat.

Di dalam mobil milik Riandi, Nadine tak henti-hentinya tersenyum sambil bergelayut manja di lengan kekar suaminya. Masih belum percaya jika mantan pacarnya adalah suaminya, terlebih lagi Riandi adalah mantan pacar yang masih Nadine cintai.

Semakin jelas kebahagiaan tercetak di wajah cantiknya. Riandi tampak risih, namun ia tidak melarang dan fokus ke depan.

"Mas, sejak kapan kamu ganti parfume?" tanya Nadine tanpa menatap, indera penciumannya mengendus jas milik sang suami yang berbeda aroma.

Baru Nadine sadari, jika aroma parfume yang Riandi pakai adalah aroma parfume yang membuat Nadine pusing. "Sejak tadi, itu parfume kesukaan Hanin. Kamu tidak suka?"

Lagi-lagi Nadine memutar bola mata malas. "Nggak, aku nggak suka sama parfumenya. Ganti aja kenapa sih, enek sama baunya."

"Tidak usah dekat-dekat jika tidak suka. Tidak udah di bawa ribet!" timpal Riandi. Bibir Nadine mencebik.

Meski aroma parfume itu sangat mengganggunya, tapi Nadine berusaha untuk menahannya, demi bisa berdekatan dengan suami sebelum ia sampai di tempat kerja.

"Aku nggak mau tau ya Mas, mulai besok jangan pake parfume ini lagi, pake aja kalau Mas lagi sama Hanin. Aku Nadine Mas, bukan istrimu si Hanin," gerutu Nadine.

Riandi yang menatap ke depan pun menoleh, kemudian tersenyum samar. "Yang mengira kamu Hanin memang siapa?"

"Gak seharusnya kamu pake barang yang dia suka dari kamu, sekarang kamu bersamaku, mulai sekarang dan seterusnya kamu akan pake parfume yang aku suka," pinta Nadine. Meski jengah, Riandi hanya bisa menghembuskan napas pasrah.

Malas berdebat, lebih baik iyakan saja biar cepat. Entah mengapa, Nadine jadi protektif seperti ini jika menyangkut soal Hanin. Padahal Hanin yang istri pertamanya saja tidak banyak mengatur.

"Mas, kamu dengerin aku nggak sih? Aku nggak suka aroma vanila." Riandi tidak menggubris, masih posisi fokus menyetir.

Sebenarnya Riandi sengaja memakai parfume Hanin, karena Riandi menyukai aromanya. Setidaknya dengan memakai parfume Hanin, rindunya sedikit terobati. Tidak perduli asumsi orang-orang jika dirinya memakai parfume wanita.

Sementara Nadine tidak suka aroma parfume vanila, entah mengapa selalu membuatnya mual dan pusing. Pernah menjalin hubungan sebelumnya tentu membuat Riandi tahu, jika Nadine tidak menyukai parfume ini, itulah sebabnya Riandi memakainya agar Nadine tidak nempel terus padanya.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang