23. Lunturnya Perasaan Cinta

1.2K 27 0
                                    

Hanin mengembangkan senyum saat melihat Riandi tengah duduk di sofa kamarnya sambil menyesap kopi yang di buatkan oleh Hanin. Hanin berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan Riandi, sang suami itu sedang asik memainkan ponsel, sampai-sampai tidak menyadari keberadaannya di sini.

Begitu tiba di belakang tubuh Riandi, Hanin terkekeh dan mengagetinya secara tiba-tiba.

"Dorrr!" teriak Hanin.

Senyuman Hanin pudar kala melihat respon Riandi yang biasa saja. Tidak kaget juga tidak menoleh. Hanin tersenyum kikuk sambil menggaruk pelipisnya.

Rasanya ia ingin terbang ke bulan saja, merasa malu ingin mengerjai tapi si suami malah tidak kaget.

Riandi membalik setengah badan untuk menatap Hanin yang tampak salah tingkah, lalu Riandi terkekeh geli. "Aku tau kamu ke kamar sayang. Jangan jahil, dosa loh sama suami."

Bibir Hanin mencebik, ia lupa jika parfume yang ia pakai bisa terendus oleh hidung suaminya. Apalagi di jarak dekat. Tanpa tahu Hanin masuk, Riandi sudah bisa menyadari keberadaannya.

"Ish! Kenapa sih malah gak kaget, pura-pura kaget kek supaya nggak tengsin-tengsin amat," gerutu Hanin.

Hanin mencongdongkan badannya, mengalungkan tangannya di leher Riandi, membenamkan wajah di bahunya dan menempelkan pipinya dengan pipi Riandi.

Rasanya nyaman sekali, sekian lama akhirnya Hanin bisa berduaan dengan suaminya.

"Wangi banget, aku curiga kalau kamu mandi parfume," kekeh Riandi, bibirnya mendarat di tangan Hanin yang melingkar. "Sayang, sini," pintanya sambil mengarahkan Hanin agar duduk di pangkuannya.

Tubuh mungil Hanin duduk di paha kiri suaminya sambi melingkarkan tangannya di leher Riandi. Hingga netra mata keduanya saling menatap. Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain.

Riandi memberikan senyum, tangan kekarnya mengelus perut Hanin. Hanin mengerutkan dahi. "Nggak ada dedek bayinya, Mas. Hanin 'kan nggak bisa punya anak lagi," lirih Hanin.

Hati Riandi mencelos, lalu menarik tangannya agar menjauh, takutnya Hanin tersinggung. Riandi rindu mengelus perut buncit Hanin saat sedang mengandung, selama 8 bulan di masa kehamilan sang istri, Riandi selalu mengelus dan memijat kaki Hanin saat sedang lelah.

Tapi sekarang...perut itu tidak buncit dan rata. Keduanya sangat terpukul atas kepergian anak mereka yang meninggal sesudah di lahirkan.

Mata Riandi berembun. Meski anaknya tidak hidup, ia pernah menatap dan menggendong tubuh anaknya meski dalam keadaan tidak bernyawa. Ia juga memotretnya untuk menjadi kenang-kenangan.

Bayi mereka berjenis kelamin perempuan, dia sama persis dengan Hanin, cantik dan lucu. Allah...setiap mengingat wajah mungilnya, membuat Riandi rindu dengan anaknya.

"Mas tau sayang. Mas cuma kangen elus-elus perut kamu. Isi atau nggaknya, Mas pengen elus, boleh ya?" tanya Riandi, Hanin tak kuasa menahan tangisnya dan mengangguk.

Tangan Riandi menyingkap baju Hanin dan memasukan tangannya ke dalam baju, Hanin memejamkan mata sambil mendaratkan dagunya di kepala Riandi.

Elusan tangan Riandi membuat Hanin nyaman, hingga tanpa sadar ia mengeratkan pelukannya.

"Nyamanya," gumam Hanin dengan suara pelan.

Riandi menengadah, sayangnya ia tidak bisa menatap wajah Hanin karena berada di atasnya. Ia hanya bisa melihat leher jenjang dan putih istrinya.

Glek, Riandi menelan saliva susah payah saat wajahnya berhadapan langsung dengan leher putih sang istri. Ia membayangkan jika gigi-giginya berpertualang di sana, menggigit, menjilat dan memberikan tanda kepemilikan di sana.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang