Di perjalanan pulang, Hanin hanya bungkam seribu bahasa di kursi belakang. Ia tidak berkeinginan untuk berbicara, bahkan untuk sepatah kata pun.
Wanita itu menyandarkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela, sembari menikmati indahnya suasan kota Jakarta di pagi hari.
Semenjak obrolan dengan sang suami di ruangan tadi, keduanya jadi banyak diam. Ah, bukan, Hanin yang lebih dominan mendiamkan. Mungkin saja Riandi juga sudah pasrah, itulah sebabnya sang suami hanya fokus menyetir saja.
Ya, Hanin pulang di antarkan oleh suaminya. Padabal ia sudah menolak dan ingin pulang bersama Ayahnya saja. Riandi memaksa, akhirnya Hanin mau walau harus duduk di kursi belakang, ibarat sopir saja posisi Riandi saat kini.
Meski tidak bicara, sesekali Riandi menatap Hanin melalui kaca spion. Tatapannya menyendu karena Hanin malah mendiamkannya.
Riandi memegang erat stir dan berusaha untuk menahan sesak di dadanya. Riandi tidak terbiasa dengan sikap dingin Hanin seperti sekarang, Riandi lebih suka Haninnya yang dulu, yang selalu merengek manja padanya.
"Kalau lagi nyetir jangan melamun, bisa bahaya nanti," tegur sang wanita cantik yang duduk di kursi belakang. Mampu membuyarkan lamunan Riandi.
Pria itu terhenyak dan fokus mengemudi. "Maaf, aku sedang banyak pikiran."
Hanin menatap Riandi dari belakang. Rasanya ia ingin memeluk tubuh suaminya itu, tapi ia harus menahan. Setidaknya, dengan begini hukuman untuk apa yang pernah Riandi lakukan.
"Hanin..." panggil Riandi.
Yang di panggil pun ikut melihat ke arah spion. Seketika netranya terpaku menatap netra Riandi yang menatapnya dengan sorot entah. Sulit untuk Hanin jelaskan.
"Ya?"
"Berapa lama ... mmmm maksudku, berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menenangkan dirimu?"
Dahi Hanin berkerut. Lalu ia mengedikkan bahu, tidak tahu. "Aku tidak tahu. Kenapa memang?"
Pria di depannya mengangguk-angguk pelan. "Jangan terlalu lama ya. A-aku tidak bisa lama-lama pisah denganmu."
Menatap Riandi melalu kaca spion, Hanin sedikit menegakan duduknya. "Kamu harus terbiasa. Anggap saja ini simulasi perpisahan kita."
Mata Riandi terbelalak. "Apa maksud kamu, Nin? So ... kamu benar-benar ingin pisah dengan Mas? Iya?"
Hanin mengedikkan bahu, pertanda tidak tahu, karena keputusannya masih abu-abu. Jangankan Riandi, diri sendirinya saja tidak tahu ingin bagaimana.
Ia perlu menyendiri agar bisa berpikir jernih, agar tidak salah mengambil keputusan. Pasalnya keputusan ini akan berlaku seumur hidupnya. Hanin tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan.
"Aku nggak tahu, Mas. Please ... biarkan aku tenang terlebih dahulu, agar bisa berpikir jernih."
Alhasil Riandi pun paham apa yang di inginkan Hanin. Walau sejujurnya Riandi jadi penasaran, apa keputusan istrinya. Dia berharap, Hanin tetap mempertahankan pernikahan mereka.
"Mas, kamu serius akan menceraikan Nadine?" tanyanya kepada sang suami.
"Iya, kamu 'kan tahu jika aku sudah menjatuhkan talak padanya. Besok, aku akan menghubungi pengacara untuk mengurus persidangan cerai kami," jelas Riandi.
Hanya deheman saja yang keluar dari mulut Hanin, ia tidak minat untuk mengeluarkan kata, bahkan untuk sepatah kata pun. Biarlah urusan ini urusan mereka berdua. Ia tidak mau mencampuri sesuatu yang bukan urusannya.
Karena tidak ada jawaban dari Hanin, Riandi menghela nalas pasrah dan kembali fokus menyetir.
Sikap istrinya berubah drastis semenjak tahu hal itu, hal ini membuat Riandi sangat tersiksa dengan perubahan Hanin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)
RomanceHanin harus menerima kenyataan pahit saat kehilangan anak yang di kandungnya, akibat kecelakaan itu Hanin di nyatakan tidak bisa memiliki keturunan lagi. Sebulan setelah insiden itu terjadi, Riandi datang bersama seorang wanita di hadapan keluarga d...