28. Problematika Rumah Tangga

746 30 4
                                    

Ketika kembali memasuki kamarnya. Riandi mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, ia mengerutkan dahi ketika tidak menemukan Hanin di tempat tidur. Ranjang yang mereka tempati tadi sudah rapih dan di gantai sprei.

Riandi melangkah ke kamar mandi, siapa tahu Hanin sedang membersihkan diri. Saat di kamar mandi, ternyata Hanin di sana. Diam sejenak, Riandi berpikir kemana Hanin pergi?

Karena tidak menemukan Hanin di kamar, ia membawa langkahnya untuk turun ke bawah. Siapa tahu Hanin sedang di lantai bawah. Selesai menuruni setiap anak tangga, Riandi segera berlari kecil mencari keberadaan istrinya.

"Sayang..."

"Dimana kamu?" panggil Riandi sambil mencari.

Namun nihil, tidak ada keberadaan Hanin dimana pun. Jika tidak ada di rumah, Hanin kemana? Riandi tahu betul jika keluar rumah, Hanin pasti akan izin dulu padanya.

Tidak mau diam saja, Riandi melangkah ke belakang rumah. Tempat itu memang jarang Hanin datangi ketika makam bayi mereka di sana.

Benar saja, ketika sampai di belakang rumah, mata Riandi bisa menangkap sosok istrinya dari kejauhan. Hanin sedang berjongkok sambil mengelus batu nisan.

Riandi berjalan mendekatan. Samar-samar ia bisa mendengar suara tangis Hanin dari kejauhan. Tubuhnya yang gemetar, membuat Riandi tahu jika Hanin sedang menangis.

"Mama kangen sama kamu, baby. Maafkan Mama karena Mama belum pernah menggendong kamu, andai saja kamu masih hidup, Mama pasti akan senang atas kehadiran kamu, Nak..."

"Jika saja kamu hidup...mungkin Mama tidak akan ada di posisi ini. Nak...Mama cape, hanya kamu penguat Mama..." isak Hanin. Yang dia lakukan adalah berkeluh kesah di hadapan batun nisan anaknya, bagaikan anak itu masih hidup.

Hanin merasa lega, meski selamanya tidak akan pernah melihat wajah anaknya. Ia bisa mendatangi makam anaknya setiap kali merasa rindu.

Beruntung waktu itu Riandi mengambil beberapa foto dan mencetaknya, jadi Hanin bisa tahu betapa cantiknya putri kecilnya itu.

Hanin teringat ketika pertama kali hamil, mengandung selama beberapa bulan dengan perut membesar. Betapa bahagianya Hanin kala itu. Namun takdir berkata lain. Si jabang bayi hanya sekadar hadir, bukan untuk hidup.

Kendati demikian, Hanin berusaha untuk bersyukur. Atas kehamilan itu, ia bisa merasakan bagaimana rasanya mengandung.

"Seandainya Nak...seandainya jika kamu hidup, apa mungkin Papamu tidak akan menikah lagi?"

"Mungkin ini udah takdir Mama. Insyaallah Mama ikhlas, semoga kelak kita bisa bertemu di syurga-Nya Allah."

Riandi mematung di tempat, hatinya mencelos mendengar keluh kesah Hanin tanpa sepengetahuan istrinya jika dirinya ada di sini.

Mata Riandi terpejam, air matanya menetes begitu saja. Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya setiap melihat Hanin menangis dan menderita karena perbuatannya. Hanin terduduk di rumput sembari menenggelamkan kepalanya di tekukan lutut, saat itu juga tangisnya pecah.

Semakin terdengar, semakin merasa bersalah yang di rasakan Riandi. Hingga niat untuk menyusul Hanin ia urungkan. Riandi berbalik badan, untuk meninggalkan area belakang rumah.

Ia membawa langkahnya ke ruangan olahrga. Menutup pintu dengan kasar, Riandi terduduk sambil menangis di dekat pintu.

"Bodoh Riandi! Kamu memang bodoh! Hanin menderita karenamu!" maki Riandi pada dirinya sendiri. Ia memukul tembok, menjambak rambut untuk melampiaskan rasa kesalnya.

"Aku sangat mencintaimu, aku tidak mau kehilanganmu dan kamu akan terus bersamaku, Hanin..."

Apa yang Riandi rasakan pada Hanin, belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan saat berhubungan dengan Nadine, rasanya biasa saja. Di bandingkan dengan Nadine, Riandi lebih mencintai dan bahagia bersama Hanin.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang