38. Riandi Mencari Celah

1K 35 3
                                    

Ingin rasanya Hanin bersikap abai, untuk tidak memperdulikan Riandi yang masih berada di bawah sana. Di tempatnya berdiri, Hanin masih menatap sendu pada Riandi yang tengah berdiam di dalam mobil.

Sebenarnya apa maunya Riandi? Apa tujuan dia? Sehingga harus menunggu selama itu di depan sana. Padahal ia sudah memperingatkan, agar Riandi tidak mengangggu dirinya terlebih dahulu.

Jari jemari Hanin saling meremas, ia gelisah. Sebab di luaran sana, langit terlihat mendung, akhir-akhir ini memang sering turun hujan.

"Apa yang kamu lakukan, Riandi? Bahkan di saat langit mendung pun, kamu masih berdiam diri di sana."

Bingung tidak tahu harus melakukan apa. Alhasil, Hanin hanya bisa bolak-balik di kamar seraya menggigit kukunya.

Ia tahu betul jika Riandi gampang sakit jika sudah kehujanan. Pria itu benar-benar nekat!

Hanin memundurkan langkah, kala melihat Riandi menengadah, menatapa ke jendela kamarnya. Sebelum Riandi mengetahui jika dirinya memperhatikan, Hanin bergegas pergi dari kamarnya.

Malas sekali rasanya menatap wajah Riandi. Wajah tampan yang selalu ia dambakan, kini terasa memuakan di matanya.

Hanin berjalan ke arah ranjang dan duduk di sana. Di tempat duduknya, Hanin mengusap wajah dengan gusar. Sampai saat ini, keputusan Hanin tidak berubah; ia akan tetap mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.

Ia ingin menerima Riandi kembali. Tapi...

Melihat semua anggota tubuh Riandi yang sudah di sentuh wanita lain, rasanya Hanin tidak rela.

Apalagi sampai memadu kasih, wanita maja yang tak rapuh jika di duakan?

Intinya, Hanin tidak mau mengingat hal itu. Tapi apalah daya? Kejadian itu selalu terngiang-ngiang di dalam benaknya.

Ingatan yang selalu mengarahkan pada Riandi dan Nadine yang menghabiskan waktu bersama, bahkan bermesraan di hadapannya. Sungguh, itu semua begitu menyesakkan.

"Kamu tidak mau menemui Riandi, Nin? Kasihan dia, dari subuh sampai sekarang nunggu di sana," ujar Ayah Zaffar ketika melihat Hanin datang ke ruang keluarga.

Dengan cepat Hanin menggeleng. "Nggak. Biarin aja dia begitu. Lagian siapa suruh nunggu, aku 'kan nggak minta itu. Itu mah si Riandi aja yang keras kepala!" gerutu Hanin.

Mampu membuat Ayah Zaffar tertawa, apalagi melihat wajah memerah putrinya ketika sedang marah. "Istigfar, meski begitu, dia masih suami sahmu, Nak."

Bibir Hanin yang tadinya terus menggerutu, kini terkatup. Seumur-umur, belum pernah ia marah seperti ini.

"Ya habisnya aku kesel sama dia. Padahal udah aku bilang, jangan menggangguku, eh dia malah ngeyel."

"Biarkan saja. Apa perlu Ayah suruh dia masuk? Tapi Ayah pun kesal dengan Riandi."

"Udah biarin aja. Suruh dia nunggu aja di sana, mau nunggu sampai Upin dan Ipin masuk SD pun aku nggak perduuli," balasnya dengan acuh.

Tidak ada jawaban lagi dari Ayah Zaffar, Hanin menetralkan napas hingga bergumam istigfar.

Ia menatap sang Ayah yang sedang fokus dengan ponselnya. "Ayah..."

Yang di panggil langsung menoleh, lalu menutup kembali benda pipihnya. "Kenapa?"

"Bisa tolong hubungi pengacara teman Ayah? Siapa tahu dia bisa membantu proses penceraianku."

"Kamu sudah yakin?" walau ragu, tapi Hanin mengangguk pelan.

Yakin tidak yakin, keputusannya masih abu-abu.

"Ya sudah, nanti Ayah hubungi teman Ayah terlebih dahulu. Apa pun keputusanmu, semoga itu yang terbaik untukmu. Meski dengan atau tanpa Riandi, semoga anak Ayah selalu bahagia," tutur Ayah Zaffar, ada rasa sesak kala melihat kesedihan yang terpancar di wajah putrinya.

Sang Madu Dari Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang