18

1K 47 4
                                    

Jemari lentik menari, berputar dengan kombinasi acak di atas kulit tan yang diterangi sinar mentari pagi dari celah gorden kamar hotel. Joong mengerjap, menggenggam tangan si manis menampilkan raut wajah penuh perasaan campur aduk.

"Joong..."

"Humm?" Sangat lembut, penuh kasih sayang dia terus menciumi punggung tangan sang pujaan hati.

"Aku tak percaya, kita akan bertemu lagi"

"Ini adalah kita" ujar Joong dengan nada lembut "kita bersama, melewati tahun-tahun terberat. Dan aku tak akan melepaskan mu lagi" Dia mencondongkan tubuhnya mencium bibir mungil sebelum melanjutkan "Apakah Dunk merasakan hal yang sama?" Wajah manis itu nampak bungkam, hingga Joong menjulur sesaat sampai Dunk masuk dalam dekapannya. 

menjatuhkan harapan bagai membelah dada, seutas benang impian yang terus dirakitnya sedikit demi sedikit akhirnya membawa hasil. Wajah tampan menyamankan diri mendekapnya tanpa sesal, tak ada kebohongan yang tulus. "Bagaimana denganmu, Joong? Apakah semuanya masih sama?"

Joong tak berkutik, membiarkan matanya menutup kemudian mengusap lembut pipi sosok manis itu. "Aku mencintaimu Dunk, tak pernah ada yang berubah" suara parau bergetar kentara sekali, Dunk menggigit bibir nya menunggu percakapan itu berlanjut "ada saat dimana aku harus melibatkan permainan berbahaya dalam hidupku"

"Haruskah kita berhenti?" Suara Dunk memelan, tak cukup yakin sejak awal

"Dunk... aku tak bisa meninggalkan mu, sudah cukup untuk waktu-waktu di masa lalu"

"Apa lagi yang kau inginkan dariku?" Pertanyaan singkat seakan menegaskan bahwa cinta tak serta merta menjadi alasan untuk berdiri di puncak penderitaan, berpegangan tangan menuju tebing berujung kehancuran bukanlah hal yang patut menjadi pilihan.

"Dunk..."

Rasanya tak adil, tak ayal apabila dia meringsak sesuka hati. Cukup sudah pelepas rindu di penghujung semalam, kata cinta tak cukup membangunkannya dari mimpi. Bahwa Joong hanyalah lelaki dewasa yang sudah berkeluarga meninggalkan perasaannya terkapar mengenaskan, musim panas di akhir tahun sejak hari ini membuatnya mencoba kembali menguatkan hati. "Apa kau percaya?—

—tidak..." Joong menegang, tangannya meremat bahu sang pujaan hati "tidak Dunk, aku tak pernah percaya"

"Kau hanya mencintaiku, tapi sejatinya tak membutuhkanku"

Matanya meredup, menampung bulir air perlahan-lahan membuat dirinya seperti pecundang. Joong nampak pupus akan cintanya, ruang hati yang telah lama kosong menjadi rusak tak terpelihara menimbulkan penderitaan tersendiri yang sulit ia gambarkan.

"Dunk, siapa pun, tak bisa memutus ikatan kita"

"Lalu aku, aku yang akan memutusnya"

"Tidak..." Joong memotong ucapan itu dengan cepat "tunggu lebih lama lagi, aku akan melepaskan segalanya untuk mendekap mu"

Lelaki tampan itu bersungut, perlahan-lahan turun dari tempat tidur menuju kamar kecil. Dunk tak dapat menahan kekecewaannya, kala mata lentik mulai menangkap sebuah gambar berukuran cukup kecil tersemat di dalam dompet coklat atas nakas.

Mencoba lebih jelas, dia menarik dompet itu memperhatikan Joong bersama gadis kecil serta wanita cantik saling memeluk. Tak akan pernah bisa lupa, senyuman yang menggambarkan harapan dipermukaan kertas itu. Seketika Dunk merasakan amarah berdenyut-denyut di pelipisnya, tapi tetap tenang.

"Dunk..." wajah Joong muncul di ambang pintu "kemarilah, merasakan air hangat bersamaku"

.
.
.
.
.

Gemericik suara air tak dapat menyembunyikan uap hangat tipis yang melayang di permukaan bathtub, dua pasang jemari bertautan tanpa batasan saling merasakan kulit mereka begitu lengket.

Sinar redup, aroma relaksasi, serta hembusan nafas yang menerpa tengkuknya akan jadi salah satu mimpi indah.

"Joong..."

"Humm..."

"Aku tak memiliki siapapun lagi—

—iya, sekarang kau hanya memiliki ku Dunk..." terkadang, untuk sekedar mendapat tempat bersandar dia menyendiri. Tak pernah benar-benar berbagi seluruh perasaannya pada sang istri, seolah hanya tempat menumpahkan segala kewajiban dan tanggung jawab "hatiku sudah mati, sejak kau meninggalkanku hari itu, dan sekarang aku kembali merasakannya berdetak cepat"

Dunk menghela nafas, uap air mengudara seolah olah memperagakan takdir nya. Mengapa? Selalu bertemu dengan belenggu takdir sial mengikat kaki mereka. Tak akan pernah dia melupakannya, saat pertama kali wajah datar nan asing di bawah langit hujan menjadi awal kisah mereka sampai hari ini.

"Apa mungkin ini yang orang-orang katakan—

—mengatakan apa?"

Dunk tersenyum hangat, menenggelamkan hampir seluruh tubuhnya di bathtub. Reflek Joong mengeratkan pelukan untuk membuat tubuh mereka terus melekat.

"Terkadang seseorang memang ditakdirkan untukmu, hanya saja belum waktunya"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow dan tinggalin jejak biar makin semngat💛

Aisle Of Pain [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang