5

996 72 1
                                    

Dia datang dan pergi di waktu yang sama, tepat di saat langit malam sedang menitikkan air hujan. Dia kehilangan, dia terlambat. Belum sempat menyatakan seluruh rasa aneh dalam hatinya, tak satupun, tersampaikan.

Joong mencoba mengingat setiap waktu yang telah dia lewati bersama sosok manis itu, di mana dia tak pernah berani memeluk erat Dunk yang telah hanyut dalam tidurnya. Tak pernah membayangkan lagi dan tanpa sadar apa yang akan terjadi pada takdirnya, sungguh... Mimpi indah yang membawanya ke nirwana hanyalah sepenggal-penggal menyisakan kesakitan.

"Apa semua akan baik-baik saja?"

Dia berdialog penuh kehampaan, melihat lagi ke arah meja makan. Dimana sup yang katanya hangat tak mengepulkan asap sedikitpun, hatinya nyeri.

"Dunk, aku mencintaimu... Bahkan jika kau selama ini hanya seorang penderita gangguan jiwa, aku benar-benar merasakan itu"

Apakah ini masuk akal? Sosok yang katanya memiliki gangguan jiwa bisa membuatnya merasa tenang di kemudian hari, suasana rumah kembali senyap. Kompor besi di atas counter table dan langit-langit yang rendah, di sini dia benar-benar menyaksikan semuanya bersih berbeda saat dulu dia hidup sendirian.

Terlihat satu jendela dari tempatnya duduk mengarah ke pekarangan yang langsung berhadapan dengan gang kecil, satu-satunya cara melihat kehidupan yang tak akan pernah bisa berbaur dengan cerita penuh penderitaannya. Beberapa lipatan pakaian di atas meja, jemuran handuk tergantung di tiang yang tidak di cat. Panci dari tembaga tergantung pada pengait di dinding dapur, segalanya jelas berbeda.

"Dunk... Dia tak mungkin..."

Joong berdiri dengan nafas tak beraturan, sebuah sifat pemberontakan yang sedikit berkaitan dengan pikiran-pikirannya. Segalanya menjadi tak masuk akal, dia masih berharap penuh semangat dari dalam dirinya dengan harapan. Langkah kakinya bergerak-gerak mengikuti jalan keluar dari rumah, tak peduli lagi dia memandang lurus ke depan di tengah rintikan air hujan.

Joong melemparkan pandangan ke arah para petugas saat tiba di ujung gang tepat di mana orang-orang itu berpatroli, tatapannya begitu tajam.

"Kau lagi" kata salah satunya

"Dimana Dunk?"

"Apa maksudmu? Dunk? Sudah kubilang jangan mengganggunya, dia sakit. Apa kau tuli?"

"Tidak... Dunk baik-baik saja"

"Apa kau keluarganya? Apa hak mu?"

Sekarang Joong sadar menjadi orang yang telah melebih-lebihkan, dia meneguk saliva berusaha tenang. "Aku khawatir padanya..."

"Hey, tuan... Selama ku bertugas disini, aku begitu menghormati mu. Kau orang yang berkerja keras dan tak membuat masalah, tolong jangan buat dirimu dalam posisi yang sulit..."

"Katakan saja padaku, dimana rumah Dunk? Kemana kau mengantarkannya?"

"Kami akan membunuhmu jika kau masih berani mengacau"

Joong tak tau pasti, itu ancaman atau memang niat. Tapi di wajahnya tak ada sedikitpun ketakutan seperti saat di mana dia mengharapkan sosok manis itu kembali lagi dalam pelukannya, tidak sedikitpun dia dapat mengelak bahwa cintanya telah tumbuh. Tidak ada sedikitpun perasaan ingin mundur melainkan fantasi yang gila-gilaan ke sana kemari tanpa tujuan, matanya murni menyiratkan kerinduan dan hasrat.

"Kau bisa membunuhku, jika kau mampu"

Pria dihadapannya menggertakan gigi, dia tau ini. Namun akan habis saja tenaganya untuk berdebat, Joong memilih acuh dan melangkah pergi.

Di tengah lorong derita gelap nan senyap, dia meneteskan air mata. ingin terbangun dan berteriak, dia tak mau menyaksikan mentari pagi terbit tanpa sosok manis yang menggeliat.

Ironis, bukan? Seminggu yang lalu dia masih mempertanyakan perasaannya sendiri. Namun hari ini dia mendapati dirinya tenggelam dalam lautan cinta, rasa haus akan kasih sayang akhirnya kini dia merasa lemah untuk menjalankan peran. Rumput liar di pinggiran gang tidak bisa tumbuh dengan damai bersamaan genangan air, kakinya terseok.

"Paman..."

Joong berhenti, menengok kebelakang.

"Paman, apa kau bisa menolong Hia?"

.
.
.
.
.
.
.
To be continued

Aisle Of Pain [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang