Bunyi gemericik suara air hujan terus-menerus membawa luka, derap derap langkah menghentak genangan air berderai diantara rerumputan tenggelam. Joong dengan tubuh tegap basah kuyupnya tak menyerah, di atas blok jalan utama menuju genangan lumpur cokelat. Kakinya tak ragu, terus melerai rerumputan liar hampir mati di bawah pijakan.
Langit jelas hampir gelap, decitan roda kendaraan tak berhenti dari ujung ke ujung gang. Di antara redupnya kota malam, cahaya lampu remang bersinar mencari sumber kehidupan.
Pemandangan Di ujung sana, tepat depan pintu coklat rapuh nan kusut. Dibawah kanopi gelap remuk menghentikan langkah Joong, terdiam saja kala tubuhnya terus di jatuhi air langit.
Nampak jelas ada Pria manis memeluk diri sendiri, naik dan turun tangan itu bergetar teratur mengusap bahu. Wajah pucat serta dada yang meraup nafas begitu tak beres. Sosok kurus dan cukup tinggi, menarik perhatiannya hingga sampai di tepi perairan kecil.
Batu-batu kerikil di depan teras minimalis, tak ada halaman yang berarti selain genangan lumpur dan pot-pot bunga tak terurus. Joong mencondongkan tubuh memasuki kanopi lapuknya, mata tajam bak elang meneliti sosok manis yang mundur beberapa langkah hingga menabrak pintu rumah.
“Kau siapa?”
“Tuan? Apakah kau pemilik rumah yang nyaman ini?”
Joong menyergitkan dahi, tanda tak mengerti.
“Bolehkah, bolehkah aku meminta izin untuk masuk mengeringkan bajuku? Aku tak punya baju yang lain lagi” cicit pria manis itu.
Dia menghela nafas, memiringkan badannya untuk mendapat akses ke depan pintu. Sejenak jemarinya mengapit kunci kemudian membuka jalan masuk rumahnya penuh kerelaan, wajahnya datar bukan berarti tak bersahabat. “Silahkan masuk...”
“Terima kasih tuan...”
Gerimis tak kunjung usai, bahkan saat ini nampak lebih gelap dan menggelegar. Joong menyusuri lorong rumah lusuhnya, terkesan tak terurus dengan banyak pakaian berhamburan diatas sofa. “Hei.. tak usah dibereskan, jangan sentuh apapun” dia membuka suara kala sosok manis itu nampak kerepotan.
“Tapi tuan, ini sangat berantakan. Nanti anda tak nyaman”
“Siapa namamu?”
“Dunk...”
Joong mengangguk pelan “namaku Joong..”
“Joong, terima kasih telah mengizinkan ku masuk...”
Beberapa langkah, lelaki perawakan tampan itu mendekati jendela. Air lumpur terus memantul akibat guyuran hujan dari atas genteng.
“Joong...”
Mata Joong meredup, suara cukup keras memanggil namanya begitu asing namun hangat. Dia berbalik mendapati Dunk mendekatinya dalam gelap remang-remang terlihat pucat namun bersemangat.
“Joong punya wortel dan daging ayam di lemari es, bolehkan Dunk memasakkan sup hangat?”
Lagi-lagi dia hanya mengangguk, kembali mengamati halaman dengan kekhawatiran. Bagaimana cara menghindari air tergenang saat malam? Bau kayu menyeruak saat jendela kaca dibuka, Berpadu dengan aroma ayam rebus yang kini sukses membuat perutnya keroncongan. Payung compang-camping terlihat berdiri di ceruk pintu, Joong menghela nafas.
“Joong, dimana bumbu dapur nya?”
“Aku tak punya hal semacam itu, aku hanya punya garam” kata Joong mencoba meraih sesuatu di atas rak, matanya menyipit “sisa sedikit”
“Tak masalah, ini cukup...”
Dia terdiam, menyimak tubuh mungil itu melangkah kesana-kemari. “Kau ini, sebenarnya siapa?”
“Bolehkah, aku tetap disini...” Sembari mengaduk masakannya, Dunk tak berani menatap Joong.
“Tunggu dulu, atas dasar apa kau meminta tempat tinggal padaku?”
“aku tak punya rumah...” Dengan ujung jari, Joong menyentuh pipi gembilnya “Joong ke-kenapa?” Dunk mengerjap.
“Apa aku bisa percaya padamu?”
.
.
.
.
.
.
.To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisle Of Pain [Joongdunk]18+[END]
Mystère / Thriller"Kita belum cukup seharian bersama, tapi kau tau apa yang ajaib?" Dunk mengerjap, merasakan nafas lelaki tampan itu menerpa wajahnya. "Dari ribuan malam gelap dengan hujan deras di kota, ini adalah malam pertama semuanya menjadi hangat meski hujan...