Hari ini nampaknya menjadi salah satu yang melelahkan diantara hari-hari lain, saat memutuskan untuk mengevaluasi kinerja para pekerjanya sejak siang tadi Joong mulai tak memiliki waktu rehat. Kini dia Sedikit menyandar pada counter table dari dapur rumahnya, sejenak menuang minuman hangat ke cangkir. Saat merasa suara yang ditimbulkan berisik, dia mencoba sedikit lebih hati-hati.
Dahaganya sirna, Joong pelan-pelan meletakkan cangkir di atas meja. Kekosongan yang nampak jauh lebih megah, rambut cukup basah karena keringat hampir menutupi matanya.
Yang dia inginkan, hanyalah akhir cerita bahagia. Seperti mahluk kecil yang berusaha tak memberontak, menerima segala hal berdasarkan takdir yang membuat hati menderita. Dia tak pernah layak, akan cinta. Apakah waktu sudah begitu berubah? Sekarang dia banyak ditakuti, di hormati... tapi untuk dicintai, tidak. Seketika wajah tampan itu cemberut, marah.
Langkah kaki perlahan-lahan menaiki anak tangga yang cukup lebar, matanya sungguh lelah. Dengan gerakan pelan, Joong membuka pintu kamar jelas melihat sang istri yang sudah terlelap.
Kerja yang bagus hari ini, lelaki tegap itu membaringkan tubuh di atas ranjang setelah sempat berbenah dan membersihkan diri. Dengan jemari yang gugup saling meremat, dia memejamkan mata. Pikiran-pikiran tentang seseorang begitu kompleks, menganggu. Serangkaian bayangan cepat berkelebat dalam benaknya, gelombang kekhawatiran yang membuatnya gugup tak dapat dihentikan.
"Dunk..." pelan sekali, dia menggumamkan sesuatu yang tak terdengar. Membalikkan badannya, seolah-olah akan tersungkur ke bawah tempat tidur.
.
.
.
.
."Selamat pagi..."
Dunk mengangguk saja melipat satu kaki di atas kursi dan terus meneguk kopi sembari fokus pada layar notebook dihadapannya, Phuwin ikut duduk di sisi kursi cafe. "Ada acara ulangtahun akhir pekan ini, sepertinya kita harus menyiapkan beberapa hewan peliharaan untuk memenuhi lantai cafe"
"Serius?"
Lelaki dengan barista berwarna cokelat muda mengangguk santai, masih dengan fantasi fantasi susunan acara memukau membuat wajah manisnya sumringah. "Yang membuat pesta sangat suka kucing, tolong carikan yah Phu...."
"Gampang saja..." lelaki tinggi itu nampak bersandar di kursi sembari menaikkan satu alis "jika ada ini..." jarinya menjentik dengan senyum geli.
"Sialan..." Dunk merogoh saku kemudian menjulurkan pada sang sahabat layar ponsel yang menunjukkan deretan angka baru saja ditransfer ke rekening Phuwin "kalau boleh request, sewakan klien kita kucing berwarna abu-abu"
"Tentu saja manis..." Phuwin sudah berdiri, mendorong kursi dan membenahi "kau hanya duduk saja, aku akan menyiapkan bagian ini"
Di tempat berkesan retro seperti Lansquenet kadang-kadang dia hanya ingin duduk sepanjang hari, menerima pemesanan tempat serta dekorasi untuk orang-orang yang membutuhkan jasa nya. Bukankah hidup membutuhkan segala aspek untuk berkembang? Satu orang dirinya bisa saja menjadi inti dari suatu mata pencaharian yang menggerakkan hidup beberapa orang. Seperti pin utama pada sebuah jam, yang menyebabkan sistem menggerakkan roda, palu untuk memukul, jarum untuk menunjukkan waktu. Jika pin-nya bergeser atau rusak, jamnya berhenti.
"Alangkah indahnya hidup seperti itu, saat semua orang bergantung padaku dan menjadi rusak saat aku berhenti" Dunk menggigit bibir, seni mengubah nasib jelek menjadi dendam.
Lansquenet seperti jam itu, jarum jam berhenti semenit sebelum tengah malam, roda dan gigi-gigi roda berputar sia-sia di balik wajah hampa dan lugu. Mengakali orang-orang yang menatapnya dan berpendapat salah tentang kepribadiannya, dalam hal ini dia merasa semua orang telah terbodohi, karena satu menit pun tidak pernah ada pengampunan akan kesakitan yang pernah diterimanya.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisle Of Pain [Joongdunk]18+[END]
غموض / إثارة"Kita belum cukup seharian bersama, tapi kau tau apa yang ajaib?" Dunk mengerjap, merasakan nafas lelaki tampan itu menerpa wajahnya. "Dari ribuan malam gelap dengan hujan deras di kota, ini adalah malam pertama semuanya menjadi hangat meski hujan...