40

538 36 4
                                    

"kenapa tiba-tiba begini?"

Joong tersenyum masam, dia tau Presdir Hendry agak sensitif dengan permintaannya. Secara, lelaki paruh baya itu sudah menganggap Joong seperti anak sendiri. "Aku hanya merasa lebih berkembang jika tidak bergantung pada ayah"

"Joong, jangan susahkan dirimu. Terlebih perusahaan yang baru saja akan dikembangkan, mereka punya presentase yang kecil untuk berkembang" katanya pada Joong dengan jelas "apa kau sama sekali tak mempertimbangkan posisi mu di perusahaan induk ini?"

Minuman Espreso disesap di kursi cafe, di sepanjang permukaan meja yang mengkilap terbentuklah riak-riak asap dari batang nikotin yang nikmati ayah angkatnya. Sikap enggan itu lagi, selalu menjadi kelemahan khusus bagi Joong.

"Orang lain akan berfikir aku terlalu bergantung pada ayah, terlebih kita bukan—

—kau baru berapa lama menjadi bagian dari keluarga ku, tak kusangka ada orang-orang yang sangat kurang ajar padamu" Presdir Hendry tertawa kecil begitu histeria "siapa yang akan berfikir seperti itu? Katakan saja, akan ku penggal kepalanya"

"Presdir... Sekali ini saja, izinkan aku mengusahakan satu hal ini. Aku akan kembali jika aku berhasil" bukannya tanpa merasa getir, Joong benar-benar tak akan sanggup tetap disana.

"Baiklah, begini saja. Setelah Dunk dan Rachel menikah, aku akan mengizinkan mu pergi"

Dibalik semua gelombang kekhawatiran, satu persatu rasa gila menyatu jadi tak terjelaskan. "Baik tuan Henry, aku mohon bimbingannya..."

"Santai saja okay..."

Bahunya ditepuk secara pelan, dia menghela nafas suaranya sudah parau bercampur penyesalan

"jika aku tidak kembali, itu artinya aku belum berhasil melupakannya"

.
.
.
.
.

"Belakangan ini kau akan sibuk mempersiapkan pernikahan, tak perlu datang melihatku bekerja"

Dunk menengok, telah menghabiskan seharian ini menyusun dokumen yang harus ditandangani sesuai dengan waktu pengajuan. "Tak masalah, Presdir Hendry berkata untuk terus menyimak mu bekerja agar aku terbiasa"

"Santai saja..." Tawa pendek yang hambar, Joong mengatupkan bibir kemudian mengusap bahu pria manis itu "perusahaan ini adalah milik calon istri mu, tak perlu berusaha terlalu keras"

"Tapi tetap saja..." Nada bicara Dunk memelan, dia berusaha menetralkan suara "orang-orang akan menganggap aku tak berguna"

"Ini sudah malam" Joong merogoh sesuatu di dalam tas, mengeluarkan syal kuning dari sana "pakailah, angin cukup kencang belakangan ini"

Dunk tak berkutik, matanya tak beralih dari pria tegap yang berangsur memakaikannya syal kuning cerah terlihat cukup tua. Dengan penampilan manis tanpa mantel dengan syal di sekeliling kepalanya, dan wajah yang sudah setengah tertutup.

"Apa ini nyaman?"

"Iya, terima kasih"

Dia melirik Joong, seolah-olah ingin mengatakan hal lain. Namun suaranya tak bisa keluar lagi, berjalan begitu saja hingga langkah kakinya berangsur keluar dari ruangan besar itu.

Sepanjang koridor perusahaan matanya terus menatap lurus, tangannya mengusap syal itu penuh keheranan. Entah mengapa semuanya sangat asing, lebih asing dibandingkan saat pertama kali mereka bertemu.

Bintang malam itu bahkan tak seindah biasanya, bukan perkara rela atau tak rela. Ini hanya tentang kepercayaan dan histeria buatan manusia. Dunk sempat menatap ke atas gedung, melihat sosok lelaki tegap bersedekap menatap kepergiannya dari jendela kaca. Sempat menyesal telah menggantungkan kepercayaan pada seseorang yang bahkan tak ingin lagi memberi kesempatan, tak pernah memberi ruang lagi untuk mereka saling membangun kepercayaan.

"Bahkan jika hanya ada satu orang di dunia, dan itu aku. Kita tetap tak akan pernah bersama kan, Joong?"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow dan ninggalin jejak 💛💛💛


Aisle Of Pain [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang