"kau bertemu dengan Joong di pesta kemarin malam?" Suara Phuwin pelan, persuasif.
Dunk berbalik dengan sedikit enggan "humm..."
"Kau merencanakan ini, Dunk?"
Lelaki manis mencoba menjangkau bahu sahabatnya, melihat wajah miris yang kosong penuh ketidak-relaan akan rencananya "Phu, aku hanya merasa—
—itu terlihat sangat menyedihkan, aku bahkan tak mengerti kenapa kau memaksakan diri. Bukankah kita sepakat? Kau akan melepaskan Joong sepenuhnya?" Phuwin mengerang kesal, bahkan jemari pria itu meremat tanda tak suka "mau sampai kapan?"
Senyumannya sedikit sedih, seperti seorang pria yang mengakui perbuatan kekanak-kanakannya "setelah aku puas, mungkin...."
"Lalu Rachel? Putri Presdir itu? Apa kau tak merasa bersalah mempermainkannya? Dunk... kau berusaha membalaskan kesakitan mu, tapi menciptakan kesakitan baru pada orang lain. Lalu apa bedanya kau dan Joong?"
Mata lentik Dunk berubah sendu, hanya ada sedikit lampu jalan di sana. Satu-satunya cahaya paling terang berasal dari satu lentera kuning diluar cafe, bersinar menenggelamkan keredupan.
Angin malam yang membuat rasa rindu semakin nyata, melebar ke jalan besar penuh pepohonan yang sangat berkilau. Dunk melihat lebih lama, air matanya jatuh satu persatu.
"Hanya menyakiti satu orang Phu, aku tak akan mundur. Bahkan jika harus menyakiti diriku sendiri, aku tak akan berhenti"
"Dunk—
—Aku tak pernah beruntung, biarkan aku memuaskan hasratku. Bahkan jika ini yang terakhir, aku berharap bisa mati dalam kedamaian. Hanya jika Joong merasakan kesakitan yang sama, hanya jika Joong kehilangan segala-galanya" Dunk menahan dadanya, naik turun meraup udara serta isakan yang tak tertahan matanya memerah "sama seperti saat aku kehilangan, aku ingin tangisannya sama persis seperti tangisanku"
Phuwin melihat sahabatnya terkulai lemas menjatuhkan kepala diatas meja cafe, tak ada perkataan lagi untuk memprotes dengan sengit. "Berjanjilah, setelah ini berakhir kau akan hidup, seperti orang-orang hidup" menyorongkan tangannya, menyatukan jemari mereka dalam diam.
.
.
.
.
."Direktur Joong? Apa kau sedang sibuk?"
Joong membalikkan badan, Presdir menyunggingkan senyum padanya. Dengan tatapan penuh perhatian dia mempersilahkan pria berumur itu duduk di sofa, dan dia ikut duduk di seberang.
"Kau nampak tak sehat, apa ada masalah dengan perusahaan selama aku pergi?"
"Semuanya aman, tuan..."
"Santai saja, kita hanya berdua, kau sudah ku anggap seperti anakku."
Joong mengangguk, tampak lesu, tidak disentuh. Dia hanya mengangguk cepat, tapi tak bicara.
"Kau butuh refreshing, bawa keluarga mu liburan Joong—
—Dad, I'm fine"
Presdir Hendry sudah mengangguk, mungkin lelaki dewasa disana tak lagi membutuhkan hiburan melainkan kesendirian. "Baiklah, ohh.. iya. Rachel mengundang kekasihnya untuk makan malam bersama lusa nanti, aku harap kau bisa hadir Joong"
Dia tak yakin harus berkata apa selain anggukan, tapi dia sudah menduga hal ini sejak awal. Dunk tak akan berhenti, sebelum dia benar-benar hancur. Joong menunduk dalam, kepergian Presdir dari ruangan membuat kondisi semakin muram. Harus menahan diri dari kata-kata klise dan diam saja, dia sempat menatap pantulan wajah di cermin memasang wajah lesu.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jngan lupa follow dan ninggalin jejak 💛💛💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisle Of Pain [Joongdunk]18+[END]
Gizem / Gerilim"Kita belum cukup seharian bersama, tapi kau tau apa yang ajaib?" Dunk mengerjap, merasakan nafas lelaki tampan itu menerpa wajahnya. "Dari ribuan malam gelap dengan hujan deras di kota, ini adalah malam pertama semuanya menjadi hangat meski hujan...