23

479 36 2
                                    

"Sudah sangat larut...."

Dunk menggelengkan kepalanya, awal musim dingin di negeri itu mengiris iris hatinya. Kebencian tak pantas berakar, dia mungkin akan bungkam selamanya. Belum pernah ada yang begitu malang selain nasibnya kini, dan masalah itu mungkin telah terlupakan sejak lama tetapi masih terang di kepalanya.

"Hari ini, aku kembali melihatnya untuk pertama kali sejak dia pergi tanpa menjawab permintaanku"

Tidak, dia merasa tak tertolong. Terlebih saat melihat media luar ruang menampilkan foto sekeluarga yang baru saja resmi menempati posisi direktur eksekutif sebuah perusahaan besar, hal yang menyakitkan hati nya? Perasaan terbuang yang baru saja membunuhnya.

Phuwin menatap kebawah jembatan penyeberangan "setidaknya kita masih hidup, ayolah bung... ini lebih dari dua tahun. Dia mendapatkan kebahagiaan, karier dan keluarganya bahagia, mengapa kita masih berdiri disini menatap hal tak berguna bagi kita"

Sejak hari dimana mata mereka bertatapan, sejak saat dimana lelaki itu datang menghampirinya dengan keseriusan penuh. Semuanya hancur, kala Dunk memintanya untuk memilih. Dia di abaikan, dibuang tanpa kejelasan lagi setelahnya.

Sudah lelah menangisi ini, suaranya berulangkali melengking. Menyedihkan, seperti anak-anak kelelahan.

"Aku rasa kita harus pulang..." Phuwin membelainya dan mereka berjalan beriringan, bergandengan tangan.

Nampaknya dia bisa memahami situasinya sekarang, mengapa dia harus berjuang untuk bertahan lebih lama hanya untuk menunggu lelaki yang bahkan tidak bisa konsisten dengan perasaannya? Pikiran tentang kesia-siaannya, dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini ketidakpastian yang membuatnya merasa tidak pantas ada di sini. Seolah pikirannya terus-menerus mendambakan kehidupan berbeda, bersenang-senang menikmati cahaya terang meskipun tetap tersungkur dalam kegelapan yang datang tiba-tiba.

Haruskah dia mulai mencoba? Lagi-lagi, pikirannya menghantui dan hanya dirinya lah yang tahu kesakitan ini lebih baik.

Setiba di apartemennya, Phuwin pamit untuk pulang. Jarak tempat tinggal keduanya cukup dekat, jadi sahabatnya itu lebih mudah saat mereka berangkat bekerja bersama-sama.

Dunk berjalan gontai menduduki kursi di balkon, Dia merasakan ketenangan yang mencekam. Angin berhenti bertiup, kesunyian lebih mengganggu daripada suara-suara tangisan akan kerinduannya.

"Bukan tentang keputusan mu, tapi caramu meninggalkan ku malam itu masih belum bisa ku terima" dia memeluk lututnya menatap cakrawala hitam di ujung dunia.

Dengan penuh kejujuran, bahwa malam ini dia tidak bisa menyingkirkan perasaan entah bagaimana dia telah dibuang. Didorong untuk bungkam dan menyimpan perasaannya rapat-rapat, padahal dia merasa tak melakukan apapun.

Tetap saja malam ini dia tak merasa ringan, tanpa perasaan seperti bunga rumput alang-alang yang siap untuk diterbangkan angin kemana pun.

.
.
.
.
.

"Apa Jean sudah tidur?"

View mengangguk kecil, mendekati Joong kemudian memeluk erat suaminya itu. Semenjak pindah ke kawasan perumahan lebih elit, mereka jarang menghabiskan waktu bersama. Terlebih Joong begitu sibuk akan posisi barunya, semakin terbatas lah waktu mereka.

"Bagaimana sekolah Jean?"

"Itu baik, aku harap dia semakin betah sampai kelulusan nanti"

Lelaki tampan itu mengiyakan, kembali terdiam menatap jendela kaca menyongsong keluar sana dengan hati kosong mencelos dalam. Jika bisa diumpamakan sosok manis yang terus menghantui pikiran sebagai parasit yang telah menjajah seluruh kehidupannya, seharusnya dia lebih tegas pada nalurinya.

Dunk, tak pernah berhenti terus menghadang di setiap belokan takdir. Kadang dia menertawakan dirinya di balik jendela yang tertutup itu, mengirim banyak doa yang dia sendiri tak tahu kapan Tuhan memberikan kesempatan padanya dan Dunk.

Jika kini di sepanjang hidup dia terbunuh karena kebodohannya, entah siapa lagi yang akan tertawa. Sosok manis yang telah menjadi cinta pertama, ingatannya masih jelas tentang suara senandung di rumah kecil bertahun-tahun yang lalu.

Inilah penentuan keberhasilan dan kegagalannya, jahat memang harus terus terlihat tidak bersalah. Dibalik jendela rahasia, ribuan orang begitu iri akan posisinya saat ini. Dalam genangan air di pelupuk mata begitu berkerut dan jernih, untuk mendapat semua ini orang yang dicintainya benar-benar tak pernah kembali.

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Aisle Of Pain [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang