Nadia merasa lapar setelah menyelesaikan tugas kuliahnya. Repot sekali harus menugas selama hari libur.
Gadis itu berjalan menuju dapur. Dari pintu kamarnya sudah terdengar suara dua orang dari arah sana. Yang artinya Rara belum pulang.
"Join dong. Lagi masak apa nih?" tanya Nadia sembari duduk di meja makan, memperhatikan kedua insan yang sedang memasak bersama.
"Bikin nasi goreng sayur, Nad," kata Rara.
"Bikin banyak gak? Atau buat kalian berdua doang?"
"Bany—"
"Gak cukup buat lo." Jevian memotong ucapan Rara. "Masak sendiri! Jangan manja."
"Ck, pelit banget. Gak akan gue ambil juga masakan lo," balas Nadia seraya memutar bola matanya. Kenapa Jevian sangat pelit kalau sudah berduaan dengan pacarnya?
Rara menyiapkan dua piring nasi goreng di meja makan. Setelahnya Nadia memasak mi, ia sedang ingin memasak makanan instan agar tidak memakan waktu lama. Ia terlalu malas dengan Jevian.
"Nad, lo pacaran aja sana sama si Zaid." Jevian menyinggung seorang temannya yang memang cukup dekat dengan Nadia, namanya Zaid. "PDKT udah setengah tahun tapi gak jadi-jadi."
Nadia tidak merespons. Ia memang dekat dengan Zaid, ia pun suka dengan kepribadian Zaid yang baik hati. Apalagi Nadia paling suka dengan senyumannya, sangat manis.
"Urus urusan lo, gue males bahas pacaran," ujar Nadia yang memang malas pacaran setelah putus dengan mantan terakhirnya. Nadia berpikir, setiap kali berpacaran pasti ada saja yang membuat hubungannya kandas.
Ada apa dengan Nadia?
"Kenapa?" tanya Rara. "Lo berarti HTS-an sama Zaid?"
Pertanyaan Rara membuat Nadia terkejut. Pasalnya ia tidak pernah menyinggung tentang kehidupannya. Bertemu saja baru dua kali. Sudah pasti Jevian yang bercerita.
"Temenan doang," kata Nadia. "Udah ya gue duluan. Mau nonton."
.
.
Tok tok
"Iya?" Nadia menoleh ke arah pintu yang terbuka setelah diketuk oleh sang empu. Nadia pastikan itu adalah Jevian.
"Gue mau ngobrol," ucap Jevian seraya menyembulkan kepalanya melalui pintu.
Nadia mengangguk lalu mempersilakan Jevian masuk ke kamar gadis itu.
Terdiam lama, Nadia membuka suara. "Gimana perasaan lo sekarang?"
"Lebih baik. Makasih, Nad. Kayaknya kalo gak ada lo, gue gak bisa jalanin hari kemarin dan hari ini." Jevian menatap Nadia. "Makasih udah nemenin gue."
"Akhirnya ya, lo sadar juga kalo gue berguna. Teteh lo ini gak akan ninggalin lo, Dek, dalam keadaan apapun."
Jevian dan Nadia tertawa, tidak tau sebenarnya apa yang lucu.
"Geli anjir, jangan manggil Dek mulu," kata Jevian setelah berhenti tertawa.
Nadia tersenyum. Raut wajahnya berganti menjadi serius.
"Pasti berat ya?" Jeda Nadia. "Kehilangan Bunda?"
Jevian ikut tersenyum. Tanpa ia bilang pun Nadia tau jawabannya. Siapa yang tidak tau? Lagipula siapa yang tidak merasa berat kehilangan sosok ibu yang kehadirannya sangat berarti?
"Je, perasaan sedih dan kehilangan yang lo rasain itu valid. Gue gak minta lo buat tegar. Lo boleh nangis, boleh juga rapuh. Gak ada yang salah dengan perasaan itu. Lo boleh sedih sampai kapan pun lo mau. Waktu selama 19 tahun sama Ibu gak akan bisa bikin lo lupa gitu aja. Ibu akan selalu ada dekat di hidup lo. Ibu lo ada di sini." Nadia menunjuk ke arah jantung Jevian. "Jadi, sebisa mungkin jangan jauh dari Ayah juga ya?"
Jevian menatap Nadia, ia mengusap kepala gadis itu, merasa pemikiran Nadia sudah sangat dewasa.
"Lo sahabat yang paling baik, Nad. Paling ngertiin. Beruntung cowok yang bakal dapetin lo."
"Iya dong," ucap Nadia angkuh. "Gue juga beruntung punya orang sehebat lo."
"Hahaha, gue gitu loh."
Keduanya tertawa melepas beban yang ada, khususnya untuk Jevian. Tanpa mereka tau, sedari tadi Ayah melihat interaksi mereka. Pria itu tersenyum dengan haru.
.
.
"Pagiiii!" sapa Jevian ketika Nadia menginjakkan kaki di dapur.
"Wih, udah masak sarapan aja nih." Nadia mengintip masakan Jevian. "Tumben gak nyamper ke kamar?"
Jevian menyuruh Nadia duduk. "Mau masakin khusus buat lo."
"Ayah dikasih?" tanya seorang pria paruh baya yang baru saja tiba di dapur.
"Ada dong. Ayah duduk dulu. Bentar lagi masakan Jean beres."
Nadia melihat Ayah duduk sembari tersenyum. Ia senang melihat interaksi antara ayah dan anak yang sudah baik seperti ini. Semoga pagi ini menjadi awal lagi bagi dua orang tersebut.
"Nih, buat Ayah khusus pake tomat kesukaan. Ini buat Nadia, dan ini buat Jean." Jevian menyimpan satu per satu piring berisi masakannya.
"Makasih," ujar Ayah dan Nadia bersamaan.
.
.
"Sehabis sarapan siapa yang mau ikut Ayah naik kapaalll?" tanya Ayah sembari melihat Jevian dan Nadia bergantian.
"JEAN MAAUU!!" ujar Jevian dengan antusias. "Udah lama, Yah, Jean gak naik kapal. Terakhir kapan ya? Pokoknya udah lama. Jean mau lagi dong naik kapal. Ya ya yaa?"
Nadia dan Ayah tertawa, Jevian terlihat manja sekali dengan sang ayah hari ini. Sikapnya pun terlihat seperti anak kecil.
"Nadia juga mau ikuuttt!" kata Nadia tidak kalah antusias.
"Mandi dulu gih. Piring kotornya biar Ayah aja yang cuci," kata Ayah setelah mengizinkan keduanya ikut.
Jevian langsung bergegas ke kamar setelah menghabiskan sarapannya. Lagi-lagi Nadia dan Ayah hanya tertawa. Tingkah Jevian sangat konyol pagi ini.
"Makasih ya, Nadia udah buat Jean kembali kayak dulu. Makasih. Ayah seneng."
Nadia melihat Ayah yang hampir menangis karena terharu dengan tingkah Jevian barusan. Biasanya Jevian memang acuh tak acuh dengan kehadiran sang ayah.
"Nadia gak ngapa-ngapain, Yah. Jean berubah sendiri kali, hehe." Nadia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rasanya malu ketika sang ayah berterima kasih padanya padahal ia tidak sepenuhnya menjadi alasan perubahan Jevian hari ini.
Ayah terkekeh sebelum berkata, "Ayah denger kok semalem kalian ngobrol. Nadia bijak sekali."
Gadis itu terdiam, ia tidak tau harus menjawab apa. Ia masih agak malu plus salah tingkah karena tadi berpura-pura tidak tau.
"Gih mandi, piringnya Ayah yang cuci," kata Ayah sambil mengambil piring kotor Nadia. Gadis itu tersadar dari lamunannya.
Nadia berdiri dan berusaha mengambil piring kotornya kembali. "Biar Nadia aja, Yah."
"Nggak usah. Mandi gih. Kalo Jean liat kamu belum mandi pasti ngomel anaknya," ujar Ayah dengan keukeuh.
"Hehe, kalo gitu makasih, Ayah." Nadia berterima kasih sebelum pergi ke kamarnya.
.
.
Nadia membuka ponsel sebelum memutuskan mandi, bunyi notifikasi pesan dari Jevian mengalihkan perhatiannya.
Gadis itu tersenyum, lelaki di sana mengucapkan terima kasih yang terus saja diulang-ulang, membuat Nadia terkekeh dengan sikapnya.
Nadia membalas dengan ucapan terima kasih juga. Terima kasih karena Jevian sudah mau berteman dekat dengannya. Terima kasih karena Jevian mau bertahan dari pahitnya kebenaran yang sudah terkubur lama. Terima kasih karena Jevian tidak membenci ayahnya. Dan terima kasih karena Jevian telah menjadi anak yang juga baik dan peduli lagi kepada sang ayah.
Nadia semakin yakin kalau Jevian memang orang baik, terima kasih pada Tuhan yang sudah memberikan Jevian ke dalam hidupnya yang tidak sempurna, meskipun sebatas sahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Teen Fictioncw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...