Sepulang Nadia mengajar—jadi asisten dosen—ia menghampiri Jevian yang sedari tadi menunggunya di depan kelas. Lelaki itu datang di tengah-tengah Nadia mengajar hingga mengundang rasa penasarannya. Bahkan Jevian tidak memberitahu lebih dulu kalau ingin bertemu. Dan Nadia pun tidak merasa ada janji dengannya.
"Apa?"
Jevian menarik lengan Nadia kala gadis itu berdiri tepat di hadapannya. Perlakuan lelaki itu tentu mengundang tatapan dari adik-adik tingkatnya. Nadia jelas mendengar ada yang bergosip, ada juga yang tidak acuh dengan keduanya.
"Kenapa dah? Kayaknya kita gak ada janji ketemuan?" tanya Nadia ketika mereka duduk di kursi kantin.
"Emang gak ada. Gue cuma mau nanya aja sih, yang lo maksud di chat semalem itu apa?"
Nadia berpikir sejenak, "Yang gue bilang kalo Zaid calon pacar gue?"
"Iya itu!" seru Jevian. "Lo beneran ngomong kayak gitu ke Zaid?"
Lelaki itu memasang ekspresi penasaran, terlihat dari dahinya yang mengerut dan dagu yang bertumpu di tangannya. Nadia terkekeh dalam hati ketika merasa kalau Jevian sebegitu penasarannya.
"Ya iya. Kenapa emangnya? Gue salah ngomong gitu?"
Lelaki itu mendengus, "Nad! Gue syok tau gak?!" kata Jevian. "Pantesan dia teriak-teriak gak jelas njir. Taunya salting tu bocah."
Nadia hanya mendengarkan ocehan Jevian hingga lelaki itu berhenti. Jevian sangat aneh, jelas-jelas dirinya sendiri yang bilang untuk coba menjalin hubungan serius—pacaran—dengan Zaid.
"Terus?" tanya Nadia.
Gadis itu masih bingung dengan eksistensi Jevian di sana. Sepagi itu ia datang ke kampus hanya untuk bertanya hal yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya? Padahal lelaki itu tidak ada kelas apapun hari ini.
"Itu doang?"
"Lo serius gak sih?!"
Nadia tidak menangkap maksud pertanyaan Jevian, "Apanya?"
"Lo serius gak sama Zaid? Bukannya lo males pacaran?" imbuh lelaki itu.
Nadia memutar bola matanya. Mau ia serius atau tidak memang apa urusannya dengan Jevian.
"Gue buka hati buat Zaid bukan berarti langsung pacaran bego."
Jevian mengangguk lalu dengan mudahnya berkata, "Khawatir aja sohib gue lo mainin."
"Jevianjing," umpat Nadia kala lelaki itu beranjak meninggalkannya.
Nadia berlari kecil untuk menghampiri sahabatnya, kemudian mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir.
"Anterin gue balik."
"Males, jauh. Sama Zaid sono, katanya calon pacar?"
Gadis itu mendengus, padahal karena Jevian juga ia lupa mengabari Zaid untuk menjemputnya. Terlebih lagi Zaid belum tau kapan jam pulang ia mengajar.
"Ya udah, gue ikut ke kosan lo."
Jevian melajukan motornya—motor Dimas—keluar dari kampus, membelah jalanan yang mulai padat dengan banyak kendaraan. Hari ini cukup melelahkan bagi Nadia karena padatnya materi mengajar tadi hingga banyak adik tingkat yang kesulitan dan memintanya menjelaskan ulang. Kerja dua kali sih kalau kata gadis itu.
Nadia turun setelah mereka sampai di halaman kos Jevian. Ini kali kedua ia menginjakkan kaki di sana. Sebelumnya ia pernah diajak belajar bersama Zaid—berdua—di kosannya, jadi Nadia tidak asing dengan tempat itu. Tapi, ssttt, Jevian tidak tau kalau ia sudah pernah ke kosannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Teen Fictioncw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...