Beberapa menit berlalu tapi Nadia masih menangis tanpa suara. Gadis itu menyakiti diri dengan terus memukuli dadanya yang sesak. Saat ini penampilannya sangat kacau, siapapun yang melihat pasti akan merasa risih, atau mungkin kasihan.
Grep
Tangan yang tadinya memukul dada kini ditahan oleh seseorang, Nadia tidak tau siapa yang memegang tangannya. Gadis itu terlampau malu hingga semakin menundukkan kepalanya.
Nadia menahan suaranya sambil menghapus cairan mata dengan tangan kiri.
"Liat sini," ucap orang itu, suara lelaki yang sangat lembut di telinganya.
Tidak ada pergerakan dari Nadia, hingga lelaki itu menyentuh pipinya. Nadia mendongak seiring dengan gerakan tangan lelaki itu.
Netra Nadia menatap lamat ke arah sang empu yang juga menatapnya rindu. Lelaki yang beberapa waktu ke belakang mendiamkan dirinya, kini sudah ada di hadapannya.
Nadia segera memutus kontak mata dengan Zaid yang masih menaruh atensi padanya. Ia tiba-tiba teringat dengan kejadian di parkiran siang tadi.
Sementara Zaid masih menatap gadis itu yang terlihat sangat berantakan. Tangannya membenarkan rambut Nadia yang menghalangi wajah cantik sang empu. Sesekali ia mengusap air mata yang masih menetes. Ini kedua kalinya Zaid melihat Nadia-nya menangis.
Lelaki itu menarik Nadia ke dalam pelukannya, ia tidak peduli meskipun mereka masih di kawasan kampus. Ia hanya berharap tidak ada yang melewati tangga untuk saat ini.
"It's okay, gue di sini."
Zaid memakaikan jaketnya pada tubuh Nadia, kepala gadis itu ditutupi kupluk agar wajahnya tidak terlihat. Setelahnya ia membawa Nadia ke kosan miliknya.
"Nadia kenapa?" Pertanyaan sejenis itu dilontarkan oleh teman mereka yang kebetulan sedang bermain di ruang santai. Namun Nadia tidak mendengar ada suara Jevian di sana.
"Jevian lagi ngurusin proker WP jadi belum pulang," ujar Dimas seakan tau kalau gadis itu mencari keberadaan Jevian.
Setelahnya Zaid membawa Nadia ke dapur untuk membuatkan air hangat.
"Makasih."
Lelaki itu melihat tubuh Nadia yang masih gemetar, mungkin efeknya akan lebih parah ketika ada orang yang benar-benar membentak gadis itu.
Melihat Nadia yang ketakutan membuat Zaid tidak tega, ia mendekap gadis itu seraya membisikkan kata-kata penenang.
"Nangis, Nadia, jangan ditahan. Semakin lo tahan, semakin sesak dadanya."
Zaid dengan suara lembutnya membuat pertahanan Nadia runtuh. Detik itu juga Nadia menangis, meluapkan beban yang ditanggungnya hari ini.
"Gue di sini. Tolong jangan berpikir kalo lo sendirian. Lo punya gue, Jevian, Salsa, dan temen-temen lain di kosan ini. Bilang ke gue kalo lo butuh bantuan."
Nadia menghentikan tangisnya setelah merasa lega. Gadis itu tidak berniat menceritakan penyebabnya, tapi sepertinya Zaid sudah tau alasan dirinya menangis.
"Lo tadi kenapa masih di kampus?" tanya Nadia begitu dirinya sudah merasa lebih baik. "Gue liat lo pulang sama Selin habis kelas."
Lelaki itu menahan senyuman, rasanya ia mendengar nada cemburu dari perkataan Nadia barusan. Kalau benar Nadia cemburu, ia pasti senang karena hati Nadia mulai terbuka padanya bukan?
"Kenapa nahan senyum?!"
Ekspresi Nadia yang kesal malah terlihat lucu di mata lelaki itu.
"Gue ada urusan, terus gak sengaja liat cewek nangis di tangga. Gue hampir ngira itu penunggu kampus loh karena bajunya putih dan rambutnya panjang."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Teen Fictioncw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...