"Selamat pagi, temen-temen," sapa Nadia kala memasuki ruangan. Kelasnya itu sudah diisi setengah penuh oleh murid-muridnya.
"Pagi, Kak."
Gadis itu tersenyum lalu menduduki kursi yang berada di depan kelas. Dulu, pertama kali masuk ke kelas ini Nadia sangat gugup. Tapi sekarang ia sudah enjoy karena murid-muridnya yang baik dan antusias.
"Masih ada 10 menit ya, kita tunggu temen-temen yang lainnya dateng," kata Nadia seraya menaruh atensi penuh pada mereka.
"Oke, Kak," balas mereka.
Gadis itu menyiapkan laptop untuk mengajar. Seketika ia teringat kalau di kelas ini ada yang memberi hadiah kemarin, melalui orang lain. Sayangnya ia tidak tau siapa, tidak ada nama pengirimnya di sana.
Nadia memandangi satu per satu muridnya, ia bingung kenapa orang itu tidak memberikannya langsung saja. Ia ingin sekali bertanya siapa yang mengiriminya hadiah, tapi itu sangat tidak penting dibahas di sesi perkuliahan ini. Lebih baik ia bertanya pada Jevian nanti.
Sepuluh menit pun berlalu.
"Baik, temen-temen. Kita akan mulai perkuliahan hari ini. Sebelum itu, alangkah baiknya kita memulai dengan berdoa. Berdoa dipersilakan," ujar Nadia setelah mendapatkan atensi penuh dari semua muridnya. "Berdoa tidak pernah selesai."
Nadia beranjak dari duduknya, ia memulai kelas Ekonomi Dasar hingga dua jam ke depan.
.
.
"Hey, Bro," sapa Zaid lesu diiringi suara pintu ruangan yang terbuka, ruang santai yang setiap hari selalu diisi oleh geng mereka. Lelaki itu merebahkan dirinya di sofa, ia agak lelah karena menghabiskan hampir dua jam perjalanan untuk mengantar jemput Nadia.
"Abis anter jemput pacar ya?" tanya Jevian yang sebetulnya meledek. "Eh, calon pacar deng."
Zaid mendengus tetapi tidak menanggapi perkataan temannya itu. Hubungannya dengan Nadia akan dibiarkan mengalir saja. Toh yang menjalani kan mereka berdua bukan Jevian atau orang lain.
"Kalo lo sama mbak pacar aman?" tanya balik Zaid.
"Selalu aman, gak ada masalah," jawab Jevian.
Zaid hanya mengangguk kemudian mengedarkan pandangannya. "Lagi pada ngapain?" Ia bertanya pada Dimas dan Amir yang sedang sibuk di depan laptop.
"Desain," kata Dimas sambil fokus ke laptopnya.
"Buat renov ruang HIMA, masih desain kasar sih," imbuh Amir ketika melihat ekspresi kebingungan Zaid.
"Berdua doang? Kok gue gak tau?"
"Kalo udah fix nanti gue kabarin di grup besar."
"Oohh.."
"Btw, lo tadi ditanyain Selina."
Zaid menoleh, Selina itu teman kelas mereka. "Kenapa Selin?" Dan panggilannya Selin.
"Ngajak belajar bareng lagi," jawab Jevian. "Lo hubungin dia aja kapan bisanya."
Fyi, saking pintar dan ramahnya Zaid, ia selalu diajak belajar bareng dengan teman-teman kelasnya. Apalagi teman perempuannya, Selina misalnya, ia sudah berkali-kali belajar dengan gadis itu. Kadang Selina juga mengajak temannya, Caca. Mereka bertiga sudah dekat dari semester 3 karena selalu sekelas. Selain itu, Selina merupakan teman SMA Jevian yang dikenalkan padanya oleh lelaki itu.
"Oke, thanks infonya," kata Zaid. "Tapi lo juga ikut belajar kan, Jev?"
"Sori kayaknya gue gak ikut dulu. Ini gue mulai nyusun proposal, udah diminta dosbing (dosen pembimbing)."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Teen Fictioncw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...