Zaid duduk di hadapan papanya Nadia. Keduanya terdiam sambil menunggu Nadia menyiapkan minuman.
"Pa." Nadia menyimpan gelas berisi air di depan papanya lalu ia duduk di sebelah Zaid. "Papa ada apa ke sini?"
"Mau jenguk kamu." Pria itu menjawab sambil melirik Zaid. "Kenapa? Kamu mau ngajak Zaid berduaan kah di sini?"
"Astaga, Pa. Gak mungkin Nadia bawa cowok main ke kosan kalo cuma berdua. Zaid cuma nganter Nadia pulang aja."
Zaid mengangguk. "Iya, Om. Saya cuma anterin pulang."
"Lagian bukannya Papa juga yang nyuruh Zaid jagain Nadia? Jadi Papa harusnya percaya," kata Nadia. Gadis itu takut jika papanya akan memukul Zaid.
"Sshh, udah."
Dengan lembut Zaid meminta Nadia untuk tidak membantah apa-apa lagi pada papanya.
"Kenapa takut gitu? Papa hanya bertanya padahal," balas sang papa. Dalam hati ia tertawa melihat tingkah anak gadisnya. Tentu saja ia percaya pada Zaid. Anak itu selalu memberi laporan rutin padanya, yang menunjukkan kalau Nadia baik-baik saja.
Nadia menghela napas dengan lega. Papanya ini kadang memang tidak bisa ditebak. Apalagi setelah bercerai, syukurnya pria itu sudah tidak lagi banyak memaksakan kehendak.
Tes
Tetesan darah keluar dari hidung Nadia. Secepat kilat Zaid mengambil beberapa helai tisu yang ada di depannya. Ia menahan tisu itu di hidung Nadia dengan tangan kirinya memegang tengkuk sang gadis agar menunduk.
"Tahan," kata Zaid menyuruh Nadia mempertahankan posisinya.
Satu menit darah itu masih terus mengalir. Selama itu pula Zaid berkali-kali mengganti tisu bekas dengan yang baru. Hingga darah di hidung Nadia berhenti, Zaid dengan telaten membersihkan bekas darah di sekitaran hidungnya.
"Udah."
Zaid bangkit dari duduknya untuk membuang bekas tisu dan mencuci tangannya. Ia tidak perlu bertanya di mana tempat sampah dan kamar mandi karena memang tersedia di dalam kamar Nadia. Ia hanya lupa jika ada papanya Nadia di sana.
Tentunya semua hal tadi tidak luput dari pandangan sang papa. Ia sangat terkejut karena pertama kalinya melihat Nadia mimisan. Ia pun terkejut dengan kegesitan Zaid yang sepertinya sering membantu Nadia kala mimisan.
Zaid mendudukkan diri lagi di hadapan papanya Nadia.
"Maaf, Om, saya lancang," ucap Zaid yang merasa tidak enak pada pria itu karena sudah menyentuh anak gadisnya (lagi).
"Ehem." Nadia membasahi tenggorokannya yang kering. Sungguh sedari tadi Nadia menahan senyuman atas perilaku Zaid yang tidak pernah ia bayangkan. "Makasih, Id."
Setelahnya gadis itu memperhatikan raut wajah sang papa, terlihat sedih dan khawatir secara bersamaan. Ia mengambil tangan papanya lalu mengusap lembut punggung tangan itu.
"Nadia gak apa-apa, Pa, jangan khawatir. Ini cuma kecapean aja."
Sang papa mengusap tangan Nadia balik. "Maaf Papa gak secepet Zaid buat bantu kamu."
Fyi, pria itu sudah tau kalau respons tubuh Nadia akan mimisan di kala sang anak kelelahan.
Nadia menggeleng tidak setuju atas permintaan maaf papanya. Sebetulnya ia selalu mengatasinya sendiri. Hanya saja Zaid lebih gesit daripada dirinya.
"Zaid, terima kasih sudah menjaga Nadia."
Lelaki itu tersenyum manis lalu mengangguk. Aduh, padahal senyuman itu untuk papanya tapi kenapa Nadia yang berdebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Dla nastolatkówcw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...