Saat ini Nadia sedang duduk di boncengan motor Zaid. Sesekali mereka berbicara, dari yang awalnya saling menanyakan kabar hingga akhirnya bertanya tentang perkuliahan.
"Nad, kata Jevian lo disuruh pindah ke kosan gue—sori, kosan Jevian?"
Nadia terkekeh mendengar ucapan Zaid, ya memang tempat kos Jevian itu kosnya Zaid juga, jadi tidak perlu diralat kan?
Gadis itu mengangguk kala Zaid menatapnya melalui kaca spion. "Gue gak mau, gak begitu kenal deket sama orang-orangnya juga selain lo sama Jevian."
"Kalo kenal, mau?" tanya Zaid lagi.
Nadia terdiam, mempertimbangkan segala hal di pikirannya. "Ya, kalo diizinin bokap gue lebih pilih sewa kos yang ada ceweknya daripada di kos kalian. Riskan gak sih? Apalagi sekarang di sana cowok semua."
"Sejujurnya gue juga khawatir kalo lo pindah ke kos kita. Bukannya mereka pada nakal, tapi kan kita gak tau isi hati orang kayak gimana," ucap Zaid. "Termasuk gue sama Jevian juga, meskipun lo kenal, jangan terlalu percaya sama kita."
Nadia tersenyum mendengar kalimat Zaid. Di saat Jevian bilang ia harus percaya dengannya, Zaid berbeda. Zaid memintanya untuk tidak percaya dengan siapapun termasuk lelaki itu. Zaid itu lelaki yang unik bagi Nadia, juga baik hati dan mampu memahami perasaan orang lain.
"Lo pernah minta izin buat ngekos?" Zaid membuka pembicaraan lagi setelah beberapa menit keduanya hanya diam.
"Pernah," jawab Nadia. "Cuma gak diizinin terus sama bokap. Nyokap sih terserah gue."
Zaid menganggukkan kepalanya. "Kalo gue yang minta izin gimana? Rasanya gak tega kalo liat lo harus mimisan terus."
Pertanyaan Zaid membuat Nadia membelalakkan matanya. Tadi Zaid tidak setuju Nadia tinggal di kos mereka kan?
"Bukan, bukan." Zaid langsung mengklarifikasi perkataannya. "Bukan minta izin lo pindah ke kos kita. Minta izin supaya lo bisa sewa kos di tempat lain, khusus cewek gitu."
Nadia terkekeh, ia salah paham. "Emangnya lo berani minta izin ke bokap gue? Kayaknya baru sekali ketemu?"
Zaid menggaruk tengkuknya. "Iya sih. Tapi dicoba gak ada salahnya kan?"
"Sori, Id. Bukannya gue gak mau lo tolongin. Tapi, Jevian yang notabene-nya orang paling deket sama gue aja gak gue bolehin. Gimana lo?"
Ucapan Nadia membuat keadaan menjadi canggung. Pemilihan kata-kata gadis itu sedikit ambigu dan membuat Zaid berpikir keras.
Terdengar helaan napas kecil dari Zaid.
"Gue masih belum jadi orang terdekat lo ya?"
Nadia menggeleng, ia tidak berniat membuat Zaid sampai bertanya seperti itu. Gadis itu kesal sendiri karena masih saja membawa nama Jevian meskipun sedang bersama Zaid.
"Nggak gitu maksud gue. Cuma kita emang udah lama nggak interaksi lagi kan? Beberapa bulan terakhir gue lebih deket sama Jevian, tapi ya sebatas temen." Nadia menekan kata teman agar Zaid tidak salah paham lagi. Ia tidak mengerti mengapa harus menjelaskan hubungannya dengan Jevian pada lelaki itu.
Zaid terdiam lagi.
"Em.. lo paham kan maksud gue?" tanya Nadia dengan hati-hati. Lagi-lagi ia merutuki diri mengapa harus membuat Zaid paham akan hubungannya dengan Jevian.
Tetapi Zaid tersenyum. "Gue paham kok."
Gadis itu menghela napas lega membuat Zaid terkekeh karena lucu.
"Nadia?" tanya Zaid dengan mata yang melirik ke arah spion. "Kalo gue mulai deketin lo lagi, boleh?" Zaid bertanya kala bertatap mata dengan gadis itu.
"In a romantic way?" tanya balik Nadia, memastikan maksud perkataan Zaid.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Fiksi Remajacw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...