15 - Morning

9 3 0
                                    

"Hoam!"

Gadis yang baru bangun itu langsung meregangkan otot-otot tangannya. Setelahnya ia mencari ponsel untuk memeriksa apakah ada balasan pesan dari sang mama. Fyi, yang ia kirimkan pesan semalam itu adalah mamanya.

Sesaat kemudian Nadia mendesah kecewa, tidak ada balasan apa pun di room chat mereka. Ia jadi penasaran ke mana mamanya pergi.

.

.

"Mir, thanks ya udah ngasih kotak di laci gue ke Nadia, gue kelupaan."

"Sans, Bro," balas Amir. Mereka tidak sengaja berpapasan di depan kosan. "Dari siapa, btw? Kok ada di laci meja lo?"

"Katanya sih anak Mene '30. Kemarin dia ngedatengin gue. Keliatannya itu bocah suka sama Nadia," jelas Jevian seraya menutup resleting jaketnya, cuaca pagi ini benar-benar dingin. "Gue jalan dulu, Mir, mau anter Rara."

Jevian meninggalkan kawasan kos dengan motor Dimas. Sudah menjadi rutinitas setiap hari kalau ia akan mengantar Rara di pagi hari lalu menjemputnya di sore hari. Mungkin beberapa orang akan malas kalau masih pagi begini, tapi bagi Jevian, bertemu dengan Rara tidak akan ada malasnya.

"Morning, Cantik," sapa lelaki itu ketika melihat kekasihnya menghampiri.

"Morning too, Ganteng," balasnya yang disertai kekehan.

Cringe abis.

Jevian tersenyum, ia memasangkan helm ke kepala gadis itu lalu mengusap kepalanya melalui helm.

"Mau sarapan apa pagi ini?" tanya Jevian setelah Rara menaiki motornya.

"Uhm.. lagi pengen nasi uduk, yuk?"

"Let's go."

Jevian melajukan motornya sambil menikmati angin pagi. Terlihat jalanan mulai padat dengan banyak kendaraan. Untungnya belum macet, coba 30 menit kemudian, pasti sudah merayap.

"Ra, kamu udah hampir sebulan ya di Bogor? Gimana rasanya?" tanya Jevian setelah keduanya terdiam lama.

Rara memainkan jarinya di balik saku jaket milik kekasihnya, sedari tadi ia memeluk Jevian sambil menghangatkan jarinya di sana.

"Homesick hihi," kata Rara. "Di sini gak ada adik aku, gak ada yang suka jahil jadinya."

"Ululu, kamu kalo deket suka berantem sama si Rai, giliran jauh kangen."

Rara hanya tertawa, memang begitu hubungan sesama darah, dekat ribut, jauh rindu.

"Can't relate sama aku yang sodaranya udah pada nikah, gak punya adik lagi," ujarnya. "Tapi selain itu, apa yang kamu rasain?"

Rara berpikir sejenak. "Seneng karena ketemu kamu tiap hari, gak perlu LDR-an lagi deh."

Jevian terkekeh lalu mengangguk membenarkan perkataan Rara. "Makasih ya. Awalnya aku amat sangat kaget pas baca chat kamu kalo bakal ngabdi di sini."

Lelaki itu menggenggam tangan Rara di dalam sakunya, menyalurkan kehangatan.

"Kemarin Nadia baik kan sama kamu?"

Gadis itu mengangguk. "Baik, welcome banget orangnya. Aku seneng punya temen selain perawat di rumah sakit."

"Syukur deh. Eh.. tapi dia mood swinger, jadi kalo kamu mau main sama dia, harus liat sikon dulu ya. Aku khawatir dia malah ngomel-ngomel ke kamu," saran Jevian. "Apalagi kalo red days, mirip kamu tapi lebih parah lagi judesnya."

"Oh iya? Berarti aku harus hati-hati supaya gak nyenggol perasaan dia. Mood seorang mood swinger cepet banget kan berubahnya kalo disenggol gitu."

My Beloved Friend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang