Jevian terbangun dari tidurnya. Ia mengerjap lalu menyisir ruangan HIMA dengan kedua mata, mencari eksistensi orang-orang yang sedari tadi berisik.
"Udah kayak petinggi negara aja lo tidur di ruang rapat," sahut Dimas, salah satu penyebab tidurnya terganggu.
"Diem lo, Dim. Gue baru bangun, jangan diganggu."
Penyebab lainnya, Amir, justru tertawa menanggapi omelan Jevian. Lelaki itu meneruskan pembicaraannya dengan Dimas. Keduanya sedang membahas rencana renovasi ruangan HIMA berhubung Dimas bagian divisi PDD. Tapi renovasi ini belum disebarluaskan karena masih dalam tahap konfirmasi dengan pihak atas.
Beberapa saat kemudian Jevian beranjak dari kursinya, mengalihkan atensi dua orang tersebut.
"Mau ke mana, Jev?" tanya Amir.
"Kantin, laper cuy belum makan siang," balasnya sambil mengambil ponsel dan juga dompet. Nyawa lelaki itu sudah terkumpul sepenuhnya.
"Kebiasaan dah lo, kalo sakit ntar repot sendiri," imbuh Dimas yang tau kalau Jevian memiliki penyakit maag.
Jevian bergidik. "Ngeri, Dim. Kalo ada yang denger lo ngomel gitu bisa-bisa lo disangka pacar gue."
"Iya, Sayang, maaf ya."
"ANJING!"
Jevian terperangah kala mendengar Dimas memanggilnya sayang dengan ekspresi penuh penghayatan. Rasanya ia ingin menggorok leher temannya itu.
"Nyebut, Dim, nyebuuttt!" imbuh Amir yang ikutan bergidik ngeri.
"Lo kalo ngehomo jangan sama gue bangsat, gue udah punya cewek."
Dimas tertawa sementara Jevian sudah ancang-ancang untuk kabur dari ruangan HIMA.
"Mir, hati-hati lo berduaan sama si Dimas!" teriaknya seraya berlari keluar ruangan.
"Jevianjing, jangan tinggalin gue babi!"
"Bercanda woy elah, malah dibawa serius," ujar Dimas yang langsung digeplak oleh Amir. "Gue gak demen batang kecuali emas batangan."
Amir terdiam lalu tiba-tiba berkata, "Krik, gak lucu njir."
.
.
Sementara Jevian masih saja bergidik ngeri walau telah keluar dari ruangan HIMA. Sampai-sampai ia dilihat aneh oleh orang yang berpapasan dengannya. Pasalnya lelaki itu terus bergumam seraya menoleh ke belakang.
"Woy!"
Panggilan itu membuat Jevian melompat dengan refleks.
"Anjing."
Yang ternyata adalah Hisan dan Nadia. Kenapa ia bisa bertemu dengan mereka berdua?
"Heh, ngapain di Gedung Fotografi?" tanya Nadia.
Lelaki itu melihat ke sekitar, ternyata itu memang gedung fotografi. Bahkan ia tidak sadar sudah berlari sejauh itu. Apalagi jarak antara gedung manajemen dan fotografi lumayan jauh meskipun masih satu kawasan, yaitu di sayap Utara.
Jevian tidak tahu harus bagaimana selain tersenyum menampilkan deretan giginya. "Niatnya mau ke kantin."
"Ooh.. ikut dong gue juga mau jajan," kata gadis itu lalu mengikuti Jevian sementara Hisan pulang lebih dulu.
"Je, lo abis ada acara apa di Gedung Fotografi? Gue kira lo pulang pas kelas pak Arif diundur," tanya Nadia yang masih penasaran.
"Sebenernya tadi siang tuh gue rapat di Mene terus ketiduran," jawabnya. "Dan gara-gara si Dimas gue sampe gak sadar lari ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
أدب المراهقينcw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...