"Woy, ngapain lo diem di kamar mulu? Katanya mau ngambil kepercayaan Nadia lagi, diem mulu mah mana berhasil."
Zaid mengalihkan pandangannya, Amir si sahabat paling kentel Zaid sedang mengomel di depan pintu.
"Percuma."
Hanya itu yang Zaid katakan. Memang segalanya sudah percuma.
"Ngapa? Jevian?"
Lelaki itu tidak menanggapi. Diamnya adalah sebuah jawaban. Hal itu membuat Amir masuk ke kamarnya dan mendudukkan diri di sebelahnya.
"Gue selalu kalah sama dia," kata Zaid. Dan Amir hanya mendengarkan.
"Gue kalah cepet sama dia yang langsung ke kosan Nadia waktu digangguin."
"Setiap hari juga dia nemenin Nadia ke kampus sampe ditungguin kelasnya."
"Dan gue kemarin diputusin Nadia karena dia gak bisa ngasih kepercayaannya lagi ke gue."
Zaid menyeringai. "Padahal kesalahan gue cuma sekali njir, bisa-bisanya gak dikasih kepercayaan lagi."
"Sejak awal emang gue udah kalah. Dan gue terlalu percaya diri bisa ngerebut hati Nadia. Gue tau Nadia suka sama Jevian. And here we go, Jevian mulai ngasih kenyamanan lagi. Mana mungkin Nadia bisa ngelupain gitu aja."
"I quit. I hope she'll always be happy."
.
.
Sudah beberapa minggu kedekatan Jevian dan Nadia semakin terlihat. Setiap harinya lelaki itu mengantar jemput Nadia ke kosan. Kalau tidak ada kuliah pun ia akan tetap ke sana untuk sekadar bermain atau menyusun proposal bersama.
Gadis itu sudah mendapat kabar kalau Zaid tidak jadi melangsungkan pertunangannya. Zaid benar-benar memegang perkataannya yang tidak menyukai Selina lebih daripada teman. Ada perasaan lega di hati Nadia, tapi ia tidak menyesali keputusannya.
Kembali dengan hubungan kedua sahabat itu. Saat ini Jevian sedang merebahkan diri di kasur Nadia sementara gadis itu memasak makan siang untuk keduanya. Nadia berdecak ketika melihat Jevian malah tertidur di sana.
"Heh!"
Lelaki itu terbangun, lalu mengerjapkan matanya dengan gemas. Nadia hampir saja terhipnotis dengan tatapan itu.
"Lo kenapa sering banget ke sini sih? Kalo digerebek warga mampus kita!"
Jevian mencuci mukanya di wastafel, ia mencium aroma makanan yang sangat menggoda.
"Tinggal nikah aja apa susahnya."
Nadia menggeplak kepala Jevian, lelaki itu seenak jidat menyeletuk hal sakral semacam pernikahan.
"Nikah itu sakral, gak usah main-main!"
Jevian tidak menghiraukan. Lelaki itu sibuk membantu Nadia menata makan siang.
"Lo gak main sama Rara apa? Setiap hari ke sini mulu gangguin gue," ujar Nadia seraya mencicipi sup ayam yang telah dibuatnya. "Lagi ada masalah?"
Jevian mengedikkan bahunya. "Rara minta break, dari pas gue jemput lo ke rumah."
Break (istirahat) bukan break up (putus).
"Udah lama gitu anying?"
Jevian refleks menyentil bibir Nadia. Ajaran siapa gadis itu sering berkata kasar?
Sementara yang disentil hanya cengengesan.
"Selesain dulu masalahnya, kalian bukan bocah lagi. Terutama lo, Je, harus gentle. Kayak Zaid yang langsung ngedatengin gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Fiksi Remajacw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...