32 - Are We?

9 3 0
                                    

Paginya Jevian bangun lebih awal. Lelaki itu langsung mandi karena merasa tidak nyaman semalaman. Setelahnya ia baru membangunkan Nadia.

"Enggh.. lima menit," ucap Nadia dengan mata yang masih tertutup.

Jevian mengusap lembut kepala gadis itu.

"Nad, hari ini gue ada rapat himpunan."

"Malem?" tanya Nadia masih setengah sadar.

"Dari sore sampe malem. Boleh?"

"Boleh. Asal jangan pulang tengah malem." Nadia berbicara sambil memejamkan matanya, ia malas bangun karena semalam tidur sangat larut.

"Iyaa," kata Jevian. "Lo ada kelas gak hari ini?"

Nadia menggelengkan kepalanya, hari Kamis adalah hari tenangnya. "Sekarang jam berapa?"

"Sepuluh."

Hening.

"Lo ikut gue aja gimana? Gue gak mau ninggalin lo lagi. Tapi rapat himpunan juga gak bisa gue skip, ada proker request soalnya."

Nadia spontan membuka matanya, "Emang boleh lo bawa orang luar?"

"Lo bukan orang luar, Nad. Tahun lalu kan pernah ikut himpunan juga. Prom Night kemarin pun lo banyak bantu lewat Zaid. Lagian ketua himpunannya si Amir. Aman lah."

Nadia mengangguk. "Gue mandi dulu. Tungguin!"

.

.

Nadia berangkat bersama Jevian menggunakan angkot. Lelaki itu tidak membawa motor karena dipakai oleh Dimas. Sementara Nadia pun tidak diperbolehkan membawa motor dari rumahnya. Ingatkan Nadia untuk meminta bawakan motor pada papanya agar Jevian bisa memakai motor itu.

Jevian menggandeng Nadia ke ruang himpunan, lebih tepatnya ke meja panjang—yang biasa digunakan untuk rapat. Gadis itu mengira rapat himpunannya dilakukan di luar kampus, misalnya angkringan atau kafe. Bosen banget gak sih kalau mereka rapatnya di dalam kampus mulu?

Nadia duduk di sebelah Jevian atas permintaan lelaki itu. Ia hanya mengiyakan sambil menunggu rapat dimulai. Kira-kira sudah ada 20 orang yang hadir, termasuk Zaid yang duduk di seberang Jevian. Nadia tersenyum kikuk ketika bertatap mata dengan mantannya itu.

"Kak, kok bisa ada di sini?" tanya seseorang yang duduk di sebelah kanan Nadia, itu adik tingkatnya yang kenal melalui kepanitiaan tahun lalu, namanya Dini.

"Panjang ceritanya, Din," bisik Nadia pada Dini agar tidak mengganggu orang-orang yang baru rapat.

"Kakak pacaran sama kak Jevian kah?" tanya Dini lagi, ia adik tingkat yang sangat kepo ternyata.

"Nggak, sahabatan." Itu Jevian yang menjawab. "Fokus rapat, Dini. Jangan ajak Nadia ngobrol."

Nadia tersenyum ke arah Dini yang langsung menunduk. "Santai aja, Din. Orangnya rada galak kalo lagi serius."

Jevian mencubit tangan Nadia yang kebetulan sedang dimainkan. Gadis itu baru sadar, sedari tadi Jevian menggenggam tangannya.

.

.

"Nad, nempel mulu lo sama Jevian, kayak perangko. Sampe-sampe dibawa ke rapat himpunan gini."

Nadia menoleh ketika suara Aliya menyapa telinganya. Gadis itu sedang sendirian sekarang. Rapat sudah selesai sepuluh menit yang lalu dan beberapa dari mereka sedang membeli makan malam, termasuk Jevian.

"Eh, Aliya. Biasa aja sebenernya, mungkin karena kejadian semalem dia ngajak ke sini," kata Nadia sambil tersenyum.

Fyi, Aliya ini Jenderal Kontingen, yang ngurusin suporteran tiap kali ada lomba/tanding.

My Beloved Friend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang