"Jevian?"
"Halo, Jevian?"
"Jevian!" teriak Rara ketika kekasihnya tidak juga menanggapi. Lelaki itu malah melamun padahal mereka harus pulang.
"Eh iya. Sorry, Ra," balas Jevian sambil memberikan helm. Biasanya lelaki itu akan memakaikannya, tapi secara tidak sengaja ia mengabaikan eksistensi Rara. Kalau saja Dimas tidak mengingatkannya untuk menjemput Rara, ia pasti tidak berdiri di sana saat ini.
"Gapapa." Gadis itu tersenyum simpul.
Jevian melajukan motornya dengan hati-hati. Jika salah sedikit saja, lengannya akan kebas lagi. Padahal kecelakaan itu sudah lewat hampir seminggu.
Di tengah perjalanan, gadis itu memintanya untuk melipir ke tempat makan.
"Kamu kenapa? Mikirin apa?" Rara bertanya setelah mereka terdiam cukup lama.
"Gak ada," kata Jevian dengan singkat. "Habisin makanannya, biar cepet pulang."
Rara menghela napas kasar. Akhir-akhir ini Jevian berubah, tepatnya semenjak lelaki itu mengantarkan Nadia pulang dan menginap dua hari.
Fyi, Jevian tidak menceritakan apa-apa tentang kecelakaan itu.
Kembali ke Rara. Melihat reaksi Jevian yang acuh tak acuh itu membuat Rara berpikiran macam-macam. Namun ia tidak pernah menanyakan apa-apa. Ia hanya takut jika yang ada di pikirannya adalah benar.
"Langsung pulang ya." Jevian berkata dengan tegas. Lelaki itu sepertinya enggan berlama-lama dengan Rara.
"Masih jam setengah 6 loh? Gak mau main dulu?"
"Aku capek."
"Ya udah," jawab Rara dengan lesu. Kekasihnya jarang sekali mengajaknya bermain, padahal ia mengajukan bertugas di sana hanya agar Jevian memiliki banyak waktu bersamanya. Sayangnya pemikiran ia salah, Jevian terlalu sibuk dengan organisasi dan kuliah, bertemu pun hanya pagi dan sore saja.
"Aku pulang," kata Jevian setelah Rara mengembalikan helm padanya.
"Sebentar."
Jevian menatap Rara seperti biasanya—beberapa hari ke belakang—membuat gadis itu terenyuh. Jika ada orang yang melihat mereka, pasti akan bilang, "Si cowok keliatan udah gak ada rasa suka sama ceweknya. Tatapan mata si cowok bener-bener kosong."
Dan itulah yang dipikirkan Rara setiap kali Jevian menatapnya. Sudah tidak ada lagi rasa senang di mata itu, tidak seperti tatapannya saat pertama kali mereka menjalin kasih.
Mungkinkah Rara harus meluruskannya hari ini?
"Kenapa?" Adalah kata yang diucapkan oleh Jevian saat kekasihnya melamun.
"Aku mau bicara serius, kamu bisa mampir dulu?"
.
.
Di sinilah Jevian berada sekarang, di depan rumah milik Nadia. Lelaki itu langsung melajukan motornya ke sana setelah berpamitan dengan Rara.
Hari sudah gelap, jam pun sudah menunjukkan pukul 7 kurang 15 menit. Jevian dengan berani menekan bel di depannya. Beberapa saat kemudian pagar terbuka dengan otomatis. Jevian segera memasukkan motornya ke sana.
"Jevian, sini masuk," ujar papanya Nadia. "Ada perlu apa?"
"Maaf ganggu malem-malem, Om. Jevian mau ketemu Nadia boleh gak ya? Dan kalo Om kasih izin, sekalian Jevian ngajak Nadia buat balik ke kos," kata lelaki itu setelah keduanya duduk di ruang tamu.
"Udah bilang Nadia?"
Jevian menggeleng. "Belum, Om. Jevian ke sini dadakan."
Pria itu tampak berpikir, sudah beberapa hari juga anaknya tidak masuk kuliah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Friend [END]
Dla nastolatkówcw // harsh words Bagi Nadia, berteman dengan Jevian adalah hal yang patut ia syukuri. Jevian adalah orang yang baik dan tidak pernah memandang rendah orang lain. Sifatnya itulah yang perlahan membuat Nadia jatuh suka. Di samping itu, ada sosok lela...