28 - Be Beside You

18 3 0
                                    

Nadia terbangun dengan napas yang tersengal. Kejadian di Prom Night kemarin terus menghantui dirinya. Hingga tanpa sengaja terbawa ke dalam mimpi.

Semalam, papanya sudah tau mengenai kejadian yang menyebalkan itu. Tentu saja, beliau marah dan kecewa dengan pacar Nadia.

"Udah bangun?"

Pertanyaan Jevian membuat Nadia terkejut. Sejak kapan lelaki itu ada di kamarnya?

Melihat bantal dan selimut yang berantakan di sofa, ia berpikir kalau Jevian tidur di kamarnya. Namun ia lupa bagaimana lelaki itu bisa di sana.

Nadia beranjak dari tidurnya, kepalanya disandarkan pada headboard kasur. Matanya terasa berat dan bengkak. Pastinya karena gadis itu yang menangis semalaman.

Iya, Nadia menangis kala dirinya teringat dengan kejadian di Prom Night.

"Kompres dulu matanya," kata Jevian seraya membawa kompresan yang mirip dengan yang kemarin digunakan.

"Gue gak pantes bahagia ya?" tanya Nadia dengan handuk yang sengaja digunakan untuk menutupi kedua matanya.

Jevian duduk di hadapan Nadia, ia tidak tau harus menjawab apa lagi karena semalaman gadis itu bertanya hal yang sama.

"Lo pantes bahagia, Nad."

Apapun jawaban Jevian, gadis itu masih saja merasa dirinya tidak pantas untuk bahagia. Sesekali ia akan menghubungkannya dengan kisah hidupnya bersama orang tuanya, atau bahkan Jevian.

"Gue bahkan ditinggalin Mama, Je. Lo juga sempet ninggalin gue. Sekarang, Zaid juga bakal pergi cepet atau lambat."

Jevian memeluk gadis di hadapannya, ia mengusap punggung Nadia dengan lembut. Kalau boleh jujur, Jevian sangat menyayangi Nadia. Namun Jevian memilih melepas Nadia untuk lelaki yang ia pikir bisa lebih membahagiakan gadis itu. Lelaki yang bisa memahami Nadia lebih daripada Jevian.

Tidak ada percakapan apapun lagi di antara mereka. Jevian menutup mulutnya agar tidak salah berucap. Ia hanya ingin Nadia tau kalau dirinya ada di sana untuk menemani.

"Tangan lo udah sembuh?" tanya Nadia ketika sadar kalau kemarin mereka mengalami kecelakaan yang cukup membekas.

"Gak begitu parah, gue udah bisa gerakin sekarang."

Setelahnya Jevian beranjak dari kasur Nadia.

"Mau ke mana?"

"Ke bawah, gue mau ketemu bokap lo."

"Ngapain?"

Jevian menghela napasnya pelan, akhir-akhir ini Nadia menjadi lebih manja. Bahkan semalam ia meminta Jevian untuk tidur di kamarnya—tapi sepertinya gadis itu lupa.

Dan kini Jevian paham bahwa Nadia takut untuk ditinggalkan lagi.

"Mau ikut?" ajak Jevian dengan lembut. Gadis rapuh seperti Nadia itu harus diperlakukan bak gelas yang mudah pecah.

"Gue mau setor muka," lanjutnya.

Nadia terdiam lalu tertawa mendengar alasan konyol Jevian. Sepertinya lelaki itu takut jika papanya akan mengomeli sebab Jevian berlama-lama di kamarnya.

"Nggak deh. Gue mau mandi," balas Nadia. Kemudian gadis itu mengusir Jevian dengan gerakan tangan.

Nadia tersenyum hingga punggung Jevian menghilang di balik pintu kamarnya.

Sedangkan Jevian berdiri diam di depan kamar Nadia. Ia merasa tidak becus menjadi sahabat gadis itu. Bahkan di saat seperti ini pun Nadia berusaha untuk tersenyum, mencoba membuktikan bahwa gadis itu sudah baik-baik saja.

Selain itu, Jevian juga merasa bersalah karena dirinya tidak ada ketika Nadia berpisah dengan sang mama. Padahal ia tau betul bahwa seorang ibu adalah pondasi bagi keluarga. Tidak adanya ibu, semua akan berantakan. Dan Jevian sudah merasakannya sendiri.

"Sorry, Nad. Gue terlalu sibuk sama diri gue."

"Jevian? Kenapa diam di situ?"

Lamunan Jevian buyar ketika papa Nadia memanggil. Pria itu mengerutkan dahi melihatnya terdiam memandangi pintu kamar Nadia.

"Iya, Om. Ini mau turun," ujar Jevian sembari menghampiri pria yang berdiri di ujung tangga.

Seraya Jevian berjalan, ia melamunkan satu hal lagi. Kenapa pria itu masih percaya padanya? Padahal baru kemarin ia mencelakakan Nadia walaupun tidak sengaja.

Bahkan yang lebih aneh, Jevian diperbolehkan tidur di kamar Nadia. Lelaki itu tidak habis pikir dengan papanya Nadia. Namun ia tetap bersyukur karena masih dipercaya.

.

.

"Anjir, Jev, lo kemana aja baru balik sekarang?"

Adalah kalimat pertama yang Jevian terima ketika dirinya menginjakkan kaki di kosan. Juga memang tidak ada yang tau kalau lelaki itu kecelakaan karena lokasi kejadiannya cukup jauh dari vila.

"Btw, Rara udah gue anter pulang ya malem itu," imbuh Dimas yang saat itu diminta mengantarkan pulang kekasih temannya.

Jevian seketika ingat dengan Rara. Jujur saja jika dirinya sedang bersama Nadia, lelaki itu melupakan segala hal terutama Rara yang notabene-nya adalah pacar.

"Thanks."

Hanya itu yang Jevian balas. Setelahnya ia berlalu dari hadapan Dimas dan yang lain, terutama Zaid. Sejujurnya ia ingin sekali menghajar lelaki yang ia lihat saat ini, namun permintaan Nadia membuatnya mengurungkan diri. Bisa-bisanya gadis itu masih mempedulikan Zaid.

"Id, kalo gue jadi Jevian udah gue tonjok muka lo," ujar Dimas. Pasalnya ia ikut kesal dengan perilaku Zaid pada Nadia. Terlebih lagi dirinya paling tau seperti apa Jevian itu.

Zaid hanya diam. Kalau ia menjadi Jevian pun ia akan seperti yang dibilang Dimas barusan.

Flashback di Prom Night.

"Kamu apa-apaan sih pake pengumuman segala?!" Zaid menghampiri Selina ketika gadis itu sedang meminum jus dengan santai setelah turun dari panggung.

"Emang kenapa? Kabar bahagia itu harus dikasih tau ke orang-orang, Id," balas Selina sambil bergelayut manja di lengan lelaki itu.

"Kamu lupa aku udah nolak pertunangan kita?"

Zaid hampir saja memukul Selina kalau tidak ingat yang ia hadapi adalah seorang gadis.

"Tapi orang tua kita udah siapin segalanya loh? Orang tua kamu juga udah suka sama aku. Gapapa, Id. Nadia gak pantes buat kamu!"

"Aku bakal batalin tunangan kita apapun caranya," kata Zaid lalu pergi meninggalkan Selina.

"Coba aja kalo kamu bisa! Orang kalo sekalinya udah terkhianati, susah buat percaya lagi!"

Zaid tidak menghiraukan ucapan itu, mau sekeras apapun ia akan terus berusaha mengembalikan kepercayaan Nadia.

My Beloved Friend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang