Bagian 1

682 22 0
                                    


"Abang nggak ada giat?" Ucapku ketika selesai memasang seatbelt "kalau ada giat abang nggak mungkin jemput kamu Qai, lagian kantor kamu juga aneh ngadain lomba masak mana harus ke Jakarta dan pulang lewat tengah malam begini, apa para petinggi di sana nggak tahu kalau Bekasi lagi darurat begal?"

"Ya kan tadi kerja dulu setengah hari baru berangkat ke Jakarta jadi wajar aja kalau selesai jam segini, lagi pula para petinggi perusahaan mana tau soal begal bang, mereka taunya harga saham,"

"Terus mereka ngadain lomba masak buat apa? Agustusan udah lewat Qai,"

"Nggak tau sih, nggak ada desas desus juga tapi kata bu Grace ini permintaan langsung dari pak Sagara,"

"Sagara?"

"Sagara Bimasena CEO perusahaan bang,"

"Ohh," setelah itu suasana di dalam mobil jadi hening aku sibuk memeriksa fail yang harus kuberikan kepada bu Grace besok pagi sedangkan Alfian sibuk menyetir.

"Mau mampir makan nggak?" Kuangkat kepalaku dari layar ponsel untuk beralih menatapnya.

"Abang mau bikin aku makin gendut?" Alfian medengus "sesekali makan malam-malam begini nggak akan bikin kamu langsung gendut Qai,"

"Ya tapi ka-"

"Mau makan atau enggak?"

"Yaudah deh kalau abang maksa,"

"Potongan kalimat mana yang mengindikasikan abang maksa kamu? Abang kan cuma nawarin,"

"Ya kalau aku bilang nggak, nanti abang bakalan ngomel dari A sampai Z, aku lagi males dengerin orang ngomel jadi iyain aja," aku mendumal tapi Alfian malah terkekeh.

"Soalnya kamu selalu banyak alasan kalau diajakin makan, kenapa sih?"

"Karena aku gendut abaaang, seharusnya berat badan idealku nggak lebih dari lima puluh lima kilo tapi kenyataannya berat badanku di angka enam puluh dua,"

"Lengan kamu separuhnya lengan abang jadi gendut dari mananya Qai? Susah emang kalau nurutin standar perempuan," aku tidak membalas ucapan Alfian lagi dan memilih fokus memeriksa fail.

Bu Grace sedang sensitif akhir-akhir ini jadi aku harus lebih berhati-hati dalam segala hal, biasanya aku memeriksa fail hanya sekali tapi kali ini aku sudah dua kali memeriksanya takut ada yang salah dan aku yang  akan jadi sasaran amukan beliau besok.

"Turun Qai, mau sampai kapan kamu melototin layar hape kamu itu?" Tangan Alfian tiba-tiba saja menutupi layar ponselku membuat kepalaku terangkat dan menoleh ke sekeliling.

Rupanya mobil Alfian sudah menepi dari jalan raya dan terparkir tidak jauh dari warung pecel lele.

"Kok makan di sini?"

"Ada yang salah?"

"Lele digoreng, bebek dan burung daranya pun digoreng, belum lagi nasinya, ya Allah abang berapa kalorinya nanti?"

"Tenang aja nanti abang pesenin kamu lalapan sepiring tanpa lauk dan nasi," ketus Alfian kemudian turun dari mobil dan meninggalkanku.

"Dasar manusia nyebelin!" Aku mendumal tapi kemudian ikut turun dari mobil.

Kuambil tempat di ujung warung karena hanya tempat itu yang tersisa, padahal sudah lewat tengah malam namun rupanya warung ini masih ramai.

"Abang belikan kamu air dulu, tunggu di sini," Alfian menghampiriku untuk berpamitan karena masih kesal aku tidak merespon ucapannya dan sepertinya dia pun tak butuh respon dariku karena setelah berpamitan dia langsung pergi begitu saja.

Kulanjutkan kegiatanku memeriksa fail hingga ibu pemilik warung datang dan menyajikan makanan kami.

"Ini untuk masnya, sedangkan ini untuk mbak, bebek rebus dengan nasih separuh dan extra lalapan, selamat menikmati,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang