Bagian 17

97 14 0
                                    

Aku tidak tahu jika selama ini Sagara Bimasena adalah dia, sembilan tahun yang lalu aku hanya mengetahui jika namanya Bimasena.

Dan kini dia membuatku seperti orang idiot yang tidak tau apa-apa "Nafisya?" Aku semakin melangkah mundur dan dia semakin cepat melangkah menghampiriku.

Tanpa sadar lantai tempatku berpijak telah tiada hingga tubuhku kehilangan keseimbangan, aku hampir saja jatuh dari tangga jika dia tidak segera menarik tanganku.

Tangan besarnya menarik tanganku dengan kuat hingga tubuhku terdorong maju dan membentur tubuhnya.

Apa yang sebenarnya beberapa tahun ini kulakukan? Bagaimana mungkin aku bisa tidak tahu jika dia adalah bos ku? Apakah dia sengaja mempermainkanku?

Dia melepaskan pelukannya, tubuhnya menyisir seluruh tubuhku "kaki kamu berdarah Sya," dia nampak panik namun aku malah mendorong tubuhnya menjauh "kamu bohongin aku?"

Air mata luruh membasahi kedua pipiku "shhhh, aku bisa jelasin," kudorong tubuhnya dengan kedua tanganku namun ia tak bergeming dan malah mengeratkan pelukannya di pinggangku.

Tanganku yang tadinya masih berusaha mendorong tubuhnya agar menjauh kini mulai berganti menjadi memukul-mukul dadanya tapi dia tetap tidak bergeming.

"Kamu jahat Biii, jahaaat, aku benci kamu benciiiiiii," tubuhnya mendekat menghapus sisa jarak yang ada kemudian mendekapku dengan erat.

"Kamu satu-satunya yang bisa kupercaya sekarang tapi ternyata kamu nggak lebih dari seorang penipu," aku menangis tersedu-sedu.

Betapa sakitnya hatiku mendapati kenyataan jika dia menyembunyikan kebenaran dariku, membuatku nampak seperti orang bodoh beberapa waktu belakangan ini.

Lama aku menangis hingga mataku terasa panas dan kemudian dengan perlahan tangisku berhenti meninggalkan sedu sedan saja.

"Aku tau kamu marah, kamu merasa ini semua menyakiti kamu tapi sekarang yang terpenting adalah luka kamu," dia melepaskan pelukannya, tangan besarnya menghapus jejak air mata di wajahku kemudian ia menggendongku dan mendudukkanku di atas sofa.

"Rik, ambilkan kotak obat," ucapnya sambil bersimpuh di lantai dan sibuk memeriksa kakiku yang berdarah.

Setelah mendapatkan kotak obat ia mengambil kasa juga alkohol, ketika kain kasa yang sudah basah karena alkohol itu menyentuh permukaan luka di kakiku aku mendadak meringis karena sensasi rasa perihnya.

"Tahan sebentar," dengan lembut ia mensterilkan lukaku kemudian saat akan meneteskan obat merah ia melihat lukaku dengan seksama memastikan jika luka ini hanyalah luka kecil dan tidak perlu pergi menemui dokter.

"Aku tahu kamu butuh penjelasan Sya, tapi dengan keadaan kamu yang sekarang aku yakin penjelasan seperti apapun akan percuma jadi sekarang lebih baik kamu istirahat, kita bahas masalah ini besok,"

Aku hanya diam tak merespon ucapannya bahkan ketika dia merengkuh tubuhku ke dalam gendongannya dan membawaku kembali ke kamar aku tetap diam.

"Sekarang kamu istirahat," dengan gerakan perlahan dia menaikkan selimut untuk menyelimuti tubuhku dan mengusap lembut keningku.

Aku merubah posisi menjadi berbaring miring memunggunginya dan kutarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku.

Sandiwaranya benar-benar hebat, seharusnya dia menjadi seorang aktor saja dari pada menjadi CEO.

Apakah dia bahagia sudah membodohiku selama ini?

Kusibak selimut dengan kasar merasa marah atas pemikiran yang memenuhi kepalaku.

Rupanya hanya ada aku di kamar ini, membuat perasaan marah yang kurasakan semakin menggebu.

Dengan cepat aku bangkit dan berjalan keluar dari kamar. Tujuanku saat ini adalah dapur, aku butuh air dingin untuk meredam amarahku saat ini.

Namun ketika tanganku sudah menyentuh lemari es pandanganku jatuh pada lemari penyimpanan minuman.

Kuurungkan niatku mengambil air dingin dan beralih mengambil sebotol wine. Setelah membuka sobotol wine aku mengambil gelas kemudian berjalan keluar dari dapur.

Tujuanku sekarang adalah ruang keluarga, sesampainya di sana aku mendapati gordennya belum ditutup hingga aku bisa melihat kilatan petir dari kejauhan sepertinya di sana sedang turun hujan.

Kududukkan diriku di atas sofa kemudian menuangkan wine hingga satu gelas penuh dan kuminum dalam sekali tegukan seperti meminum air mineral.

Kutuang sekali lagi hingga penuh dan kembali kuhabiskan dalam sekali teguk, kuabaikan sensasi asam dan sedikit pahit yang memenuhi mulutku.

Kata Nana mabuk bisa menjadi pilihan terbaik untuk melupakan perasaan sedih, marah atau kecewa yang tidak bisa dijelaskan.

Ketika aku akan menuangkan kembali wine itu sebuah tangan mendahuluiku, aku mendongak, kudapati dia berdiri di samping meja dan dengan cepat meneguk wine itu langsung dari botolnya sampai habis.

Kuletakkan gelasku yang sudah kosong di atas meja kemudian kurubah posisi dudukku menjadi miring agar tidak menatapnya.

Kunaikan kedua kakiku dan kupeluk lututku sedangkan kepalaku bersandar di sofa, kepalaku terasa sedikit berat sekarang, sepertinya aku sudah mabuk.

Aku harap dia enyah dari hadapanku tapi ternyata dia malah ikut duduk di sofa, tangannya terulur menyentuh wajahku membuatku memejamkan mata karena tangannya terasa dingin, sepertinya dia baru saja selesai mandi.

"Kenapa belum tidur?" Suaranya terdengar lembut di telingaku dan itu malah membuatku semakin marah.

Dia bisa sesantai ini setelah apa yang dilakukannya kepadaku, apakah dia menikmati permainannya dalam membodohiku?

Aku membuka mata dan menatapnya nanar "setiap hari aku selalu berpikir benarkah yang kupilih saat ini? Bagaimana kalau aku dijadikan wanita simpanan? Wanita pemuas nafsu sang bos besar,"

Isakan mulai terdengar, aku menangis lagi "tapi dibalik semua pikiran itu aku selalu meyakinkan diriku jika aku punya kamu dan kamu nggak akan pernah membiarkanku menjadi wanita simpanan, kemarin kuberikan cintaku dengan utuh kepada Alfian tapi ternyata dia malah menggenggam cinta perempuan lain dan sekarang kuberikan kepercayaanku utuh kepada kamu tapi kamu juga mengkhianati kepercayaanku Bii,"

"Kalau aku mengatakan aku ingin kamu selalu berada di dalam jarak pandangku apakah kamu percaya?"

"Dalam jarak pandangmu?"

"Untuk memastikan kamu baik-baik saja dan memastikan hidup kamu selalu bahagia," tidak ada keraguan di matanya.

"Kenapa?"

"Karena aku mencintai kamu dan bagiku kebahagiaan kamu adalah hal terpenting di hidupku,"

Aku menatapnya tidak percaya, ucapannya barusan membuatku terkejut "Apa yang kamu harapkan dari perempuan seperti aku ini? Bahkan latar belakang keluarga kita bagaikan bumi dan langit, kamu layak untuk mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku,"

"Yang kumau adalah kamu, aku nggak butuh perempuan lain karena yang kumau hanyalah kamu, jadi Nafisya, will you marry me?"

"Nggak Bii, nggak bisa, kamu harus menikah dengan perempuan yang juga memiliki rasa yang sama, bukan dengan perempuan yang bahkan  masa lalunya belum usai seperti aku,"

"Apakah aku nggak layak untuk dicintai kamu Sya?"

Aku menggeleng cepat "bukan kamu yang nggak layak Bii, tapi aku, kamu harus dapat perempuan yang memiliki rasa yang setara dengan perasaan kamu,"

"Yang kumau kamu, satu tahun, dua tahun atau bahkan sepuluh tahun aku akan tetap menunggu kamu hingga kamu merasa layak dan pantas dicintai olehku,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang