Extra Part

87 13 0
                                    

Mata yang sudah terpejam hampir dua puluh jam itu kini perlahan terbuka, rasa lemas dan sedikit pening membuat Qai tidak bisa bergerak.

Yang nampak di hadapannya kini adalah atap putih dan juga bau antiseptik yang menguar memenuhi kamar.

Namun ketika matanya bergerak lebih jauh untuk mengamati seisi ruangan dia mendapati Sagara sedang duduk di atas sofa dan sedang sibuk dengan laptop yang berada di hadapannya.

Sepertinya sudah lama sekali Qai tidak melihat eskpresi serius Sagara, ekspresi yang paling disukainya, dulu Qai sering menyentuh alis dan dahi Sagara saat lelaki itu mengernyit ketika sedang bekerja.

Meski kini tidak bisa menyentuhnya namun Qai sudah merasa bahagia bisa melihat ekspresi itu lagi.

Tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipinya, rasa rindu yang selama ini menikam dan membunuhnya secara perlahan kini telah sirna ketika lelaki itu datang.

Terkadang kita baru menyadari pentingnya seseorang ketika dia telah pergi.

Dalam hal ini Qai menyadari yang ia butuhkan hanyalah Sagara, dunianya akan tetap baik-baik saja asalkan lelaki itu ada di sisinya.

"Nafisya?" Qai berjengit mendengar Sagara memanggilnya kemudian tangannya dengan cepat bergerak untuk menyeka air matanya.

"Kenapa? Ada yang sakit?" Sagara segera beranjak ke arah brankar kemudian menekan tombol untuk memanggil dokter.

Dengan perlahan Qai menggeleng, fisiknya terlalu lemah saat ini "mananya yang sakit? Kenapa sampai nangis begini?" tangan besar Sagara terulur dan mengusap pipi Qai dengan lembut.

Sentuhan Sagara membuat Qai memejamkan mata meresapi usapan lembut tangan Sagara yang terasa hangat di pipinya.

Namun ketika terdengar suara pintu terbuka Sagara lantas menjauhkan tangannya membuat Qai merasa kecewa dan menampakkan ekspresi murung.

Melihat kesedihan di wajah Qai membuat Sagara mengusap kepala Qai dengan lembut "aku nggak akan kemana-mana meski kamu mengusirku sekalipun Sya, aku hanya nggak mau menghalangi dokter untuk memeriksa kamu sekarang, oke?"

Satu kecupan hangat diberikan Sagara sebelum menarik tangannya kemudian melangkah mundur membiarkan dokter menjalankan tugasnya.

"Bagaimana dok?" Tanya Sagara ketika dokter sudah menyelesaikan pemeriksaannya "untuk kondisi fisiknya pasien butuh makan dan juga istirahat yang teratur sedangkan untuk psikisnya nanti sore atau besok dokter Sandra bisa melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, ada baiknya menunggu kondisi fisik pasien stabil terlebih dahulu,"

Selepas dokter pergi Sagara lekas membuka penutup makan pagi yang diantarkan sebelum Qai terbangun tadi.

"Makanan luar nggak boleh?" Sagara menoleh dan mengulum senyum "boleh, tapi harus nunggu jadi sekarang kamu makan ini dulu, nanti aku pesankan sesuai yang kamu mau,"

Selesai menyiapkan makanan Sagara menaikkan sandaran brankar agar Qai tidak perlu bergerak.

"Nasi apa itu?"

"Nasi tim, tumis sayur sama tahu dan ikan kukus," Sagara melihatkan isi piring yang dibawanya sebelum duduk di tepi brankar.

"Banyak banget, nanti nggak habis,"

"Makan sebisa kamu aja," ucap Sagara kemudian mulai menyuapi Qai.

"Aku habis ini mau makan sup ayam, tapi nggak mau pakai nasi, tapi ayamnya utuh," Sagara mengulum senyum lagi mendengar permintaan Qai, belum ada lima menit yang lalu gadis itu mengatakan jika makanan yang ada di hadapannya ini terlalu banyak namun kini dia sudah meminta makanan yang lain.

"Apapun yang kamu mau,"

******

Wajah Sagara nampak cemas ketika dokter Sandra meminta untuk bertemu di ruang kerjanya.

"Tenang pak, hasil evaluasi lima hari ini bahkan lebih baik dari tiga bulan yang lalu, jadi bapak tidak perlu khawatir,"

"Tidak ada kenaikan dosis obat?" Dokter Sandra tersenyum kemudian menggeleng "tidak semua obat bisa menyembuhkan pak, bahkan meski sudah dikonsumsi untuk waktu yang lama,"

"Maksudnya?"

"Dilihat dari kondisi pasien yang dia butuhkan hanya kehadiran bapak, kasih sayang dan juga rasa aman yang sebelumnya bapak berikan seperti obat penawar untuk depresinya lalu ketika kalian berpisah penawar itu lenyap dan depresi semakin menekannya ke titik terendah, berapa kalipun naik dosis akan percuma karena yang dibutuhkan adalah kehadiran bapak,"

Jantung Sagara serasa ditikam mendengar ucapan dokter Sandra, mulanya dia berpikir melepaskan Qai adalah jalan terbaik agar gadis itu tidak merasa tertekan lagi, tidak merasa cemas akan ketakutan-ketakutannya, namun rupanya semua itu salah, apa yang dilakukan olehnya malah membuat Qai terdorong ke dalam jurang depresi yang lebih dalam lagi.

"Rata-rata pengidap depresi selalu berpikiran negatif pak, kita harus patahkan semua pikiran negatifnya, jangan biarkan dia tenggelam dalam pikiran negatif yang malah akan memperparah depresinya,"

"Jadi saya harus bagaimana?"

"Tunjukkan kasih sayang dan patahkan semua persepsi negatif yang dibangun, paling sederhana mencoba untuk membaca situasi, melihat ekspresinya, agar tahu apa yang sedang dipikirkan, dengan lingkungan yang baik, meskipun butuh waktu yang lama perlahan hati dan pikirannya akan tergerak untuk melawan depresinya, sedangkan kita sebagai support systemnya tidak boleh putus asa pak, kalau support systemnya saja putus asa bagaimana dengan pasiennya sendiri?"

Setelah keluar dari ruangan dokter Sagara berdiri beberapa saat di depan pintu kamar rawat Qai, mencoba untuk tidak menunjukkan ekspresi sedihnya, dia harus terlihat tenang sekarang, meski hatinya menjerit merasakan sakit yang luar biasa ketika mengetahui keadaan Qai yang semakin parah karena dirinya.

Sagara mengatur napas kemudian baru membuka pintu di hadapannya dengan perlahan.

"Harus tambah dosis ya?" Qai menatap Sagara dengan sendu namun Sagara malah mengulum senyum dan menggeleng "dokter Sandra bilang kondisi kamu bagus sekarang, jadi nggak perlu tambah dosis,"

"Ohh, aku pikir bakalan tambah dosis lagi," Sagara menggeleng kemudian mengusap kepala Qai dengan lembut.

"Kepulangan kamu sudah dikonfirmasi, tunggu infusnya habis setelah itu kamu bisa pulang,"

"Aku pulang?" Sagara berdeham kemudian mengangguk sembari mengulum senyum lagi "kamu juga pulang? Pergi lagi?" Senyuman di wajah Sagara menghilang mendapati Qai terlihat resah.

"Aku sudah beli apartemen di sini dan mulai hari ini aku akan menetap di sini,"

"Kerjaan kamu?" Sagara kembali mengulum senyum  "bukankah ada Kereta cepat? Berangkat ke Jakarta hanya butuh waktu tiga puluh menit,"

"Kamu nggak capek?" Sagara menunduk kemudian menyentuhkan keningnya dengan kening Qai "tidak ada kata lelah untuk kamu, aku cinta kamu dan akan kulakukan segalanya untuk kamu,"

Finding The HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang