"Bii," Gara meletakkan ponselnya kemudian menghampiriku "pagi, sudah merasa lebih baik?"
Aku bangun dan langsung memeluknya ketika dia mengambil tempat di tepi ranjang "makan dulu setelah itu kamu boleh nangisin dia lagi,"
Sepertinya Gara masih mengira aku histeris kemarin karena Alfian "akan kulakukan segalanya agar dia juga merasakan penderitaan yang kamu rasakan Sya,"
"berjuang bersama seseorang yang masa lalunya belum usai hanya akan berakhir dengan saling menyakiti, dan aku nggak mau kamu tersakiti karena aku. Kamu harus cari perempuan lain Bii, aku nggak layak untuk kamu,"
Kulepaskan pelukan kami, sambil menahan tangis aku berkata "karena bersamaku kamu hanya akan mendapatkan penderitaan,"
Tangan besarnya terulur dan mengusap lembut pipiku "jadi ini karena aku? Kamu histeris seperti itu karena takut aku tersakiti?"
Aku mengangguk dan kurasakan air mata jatuh dari pelupuk mataku namun dengan cepat Gara menyekanya.
"Kamu merasa kalau kamu nggak baik untuk aku? Kamu merasa kalau kita terus bersama kamu akan menyakiti aku?"
Aku mengangguk kembali "lalu kamu mau kemana?" Aku terdiam mendengarnya.
Tidak mungkin aku pulang ke Bekasi karena Alfian ada di sana, begitupu ke rumah orang tuaku.
Aku sedang tidak ingin mendengar ucapan miring para kerabatku yang pastinya akan melabeli diriku dengan sebutan gagal dalam berkaier hingga berujung pulang ke kampung halaman.
Yang kubutuhkan saat ini adalah tempat yang baru, tempat dimana aku bisa melupakan segalanya "nggak tahu," jawabku dengan suara parau.
"Kamu pikir dulu mau kemana, setelah itu kamu boleh pindah dari sini, dan kalau kamu merasa bersamaku membuat kamu sedih, mulai hari ini aku akan pindah dari sini, tapi satu hal yang perlu kamu tahu Sya, kapanpun kamu butuh aku, aku akan selalu ada untuk kamu,"
"Aku aja yang pindah," Gara menggeleng kemudian mengusap pipi lalu beralih mengusap belakang kepalaku.
"Jangan, kamu suka susah kalau masak di apartemen, lebih baik di sini, atau kamu mau pindah ke tempat lain, hotel misalnya?"
Aku tahu seberapa banyak uangnya tapi aku juga sadar diri, meski aku bertahta di hatinya aku tidak bisa memanfaatkan itu, diizinkan tinggal di penthouse miliknya serta membiayai hidupku saja aku sudah termasuk dalam perempuan yang sangat beruntung.
Bahkan ani-ani saja harus membayar mahal untuk setiap benda yang diterimanya, sedangkan aku? Aku menerima semua barang mewah beserta fasilitas kelas atas secara cuma-cuma tanpa imbalan apapun.
"Di sini aja," mengingat kondisi dapur apartemen yang seadanya aku juga tidak bisa tinggal di sana, karena memasak adalah salah satu pelarianku.
"Oke, sekarang kamu mandi, nanti bibik yang akan antar sarapan kamu,"
"Kamu sarapan di sini juga?" Dia mengulum senyum kemudian menggeleng "aku harus kasih kamu ruang Sya, supaya beban yang kamu rasakan tidak terlalu berat,"
Dia menatapku dengan hangat kemudian memberikanku kecupan lama di dahi "aku berangkat sekarang, ponsel aku selalu standby, kapanpun kamu butuh kamu bisa langsung hubungi aku,"
Gara melepaskanku kemudian beranjak untuk keluar dari kamar, di ambang pintu dia menoleh dan menatapku, seulas senyum terpatri di wajahnya.
Senyuman yang awalnya membuatku bahagia kini menjadi hal yang menyesakkan untukku.
Air mataku kembali berlinang, dadaku serasa dihimpit rasa penyesalan yang tak tak terukur.
Tidak seharusnya aku menyia-nyiakan laki-laki baik sepertinya, tapi hati tidak bisa dipaksa, aku harus menyelesaikan masa laluku terlebih dahulu sebelum membuka lembaran baru cerita kehidupanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding The Happiness
ChickLitSelain orang tua, yang kumiliki adalah dia. Tidak ada yang bisa mengerti diriku sebaik dia. Tidak ada yang bisa melindungiku sebaik dia. Tidak ada yang bisa menyayangiku sebaik dia. Dia, dia dan hanya dia Lamanya kebersamaan kami membuat rasa sayang...